Kisah Tragis Orang-orang yang Tak Pernah Bisa Tidur (Bagian 2)

Kisah Tragis Orang-orang yang Tak Pernah Bisa Tidur

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Tragis Orang-orang yang Tak Pernah Bisa Tidur - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Namun, beberapa tahun setelahnya, suara Daniel mulai terdengar kebingungan dan letih. "Kadang, dia berkata 'maaf kalau saya terdengar tidak jelas, belum tidur lima hari soalnya'," kata Schenkein.

Hasil tes mengungkapkan Daniel menderita FFI (ibunya sebenarnya tahu bahwa ada penyakit 'aneh' di keluarga ayah Daniel, tetapi memutuskan untuk tidak bercerita kepada anaknya). Kabar buruknya, FFI yang diderita Daniel adalah jenis yang berkembang sangat cepat.

Setiap kali bangun, Daniel berhalusinasi, bertanya-tanya apakah dia masih hidup atau telah mati.

Penyiar radio ini menyikapi kemalangan yang menimpanya dengan 'sikap ksatria'. Dia membeli karavan, berpetualang mengelilingi Amerika. "Daniel berjiwa petualang, dia tak akan mau duduk diam dan mati begitu saja," kata Schenkein.

Ketika penyakitnya semakin parah, Daniel merekrut sopir dan seorang perawat untuk membantunya.

Daniel juga mencoba berbagai cara untuk bisa tidur. Mulai dari meminum vitamin, berolahraga, hingga menggunakan obat tidur, misalnya diazepam - demi bisa tidur meskipun hanya 15 menit saja. Dia bahkan membeli tanki isolasi untuk tidur, ketika menyadari dia gampang sekali terbangun jika ada gerakan atau suara sekecil apapun.

Tidur mengambang di tanki yang berbentuk telur dan berisi air garam hangat itu, Daniel akhirnya bisa beristirahat, tidur nyenyak hingga empat setengah jam. Namun, setiap kali bangun, dia merasakan halusinasi luar biasa - sebuah perasaan yang membuatnya bingung, bertanya-tanya apakah dia masih hidup atau telah mati.

Meskipun bisa tidur hingga empat setengah jam adalah pencapaian luar biasa, tetapi 'kenikmatan' itu tidak bertahan lama. Apalagi ketika penyakitnya memburuk. "Dia bahkan tak bisa melakukan apapun," kata Schenkein. "Bahkan ada saat-saat di mana Daniel tidak mampu berbuat apa-apa - penyakit itu seakan membuatnya tidak sadar. Dia hanya duduk tanpa bisa bergerak."

Suatu waktu Daniel mencoba terapi listrik. Berharap kejutan listrik bisa membuatnya tak sadar dan tertidur. Terapi itu malah membuatnya mengalami amnesia (hilang ingatan). Setelah beberapa tahun berjuang, Daniel meninggal dunia.

'Membersihkan' otak

Meskipun setiap upaya penyembuhan tidak berumur panjang, Daniel hidup lebih lama dari yang semula diprediksi.

Schenkein mengungkapkan, dalam kasus Daniel terbukti bahwa tidur "gelombang lambat" atau tidur nyenyak merangsang aliran cairan ke sela-sela sel otak, yang sekaligus membersihkan 'sisa' dan detritus dari aktivitas hari itu. Setelahnya, otak pun bersih, seperti pantai usai disapu ombak besar.

"Setidaknya, dengan apa yang telah dilakukan Daniel, kita tahu bahwa ada hal yang bisa dilakukan untuk memperpanjang usia pasien," tutur Cortelli - meskipun sebenarnya dia hanya mengambil satu contoh kasus, yang bisa saja tidak bisa diterapkan pada pasien lain.

Sementara itu, keluarga Silvano berharap solusi lain. Tahun lalu, seorang peneliti, Roiter, dan koleganya, Treviso, mengungkapkan bahwa mereka hampir menemukan obat yang dapat menyembuhkan gejala FFI. Obat ini disebut dapat mencegah produksi prion.

Obat bernama doxycycline tersebut sebelumnya cukup ampuh saat diujicobakan terhadap CJD. Obat yang sejatinya adalah antibiotik tersebut dapat memecah ikatan-ikatan prion lewat rangsangan dari enzim alami otak. Terbukti, dalam sejumlah percobaan, 21 pasien awal CJD yang mengonsumsi doxycycline, peluang hidupnya bertambah dua kali lipat (13 bulan).

Sayangnya, studi lanjutannya memperlihatkan obat tersebut tidak ampuh pada penderita CJD akut. Roiter dan kolega-koleganya kini ingin mencoba apakah doxycycline masih bisa berfungsi sebagai obat pencegah bagi orang yang berisiko terkena FFI, sebelum prion muncul.

"Obat ini bisa saja menunda atau bahkan benar-benar menghentikan munculnya FFI," kata Gianluigi Forloni dari Mario Negro dari Institute for Phramacological Research di Milan, yang ikut membantu proyek ini.

Melakukan uji coba terhadap obat tersebut tidak gampang, apalagi kondisi ini sensitif bagi keluarga Silvano. Yang mereka lakukan pada akhirnya adalah; pertama, ilmuwan melakukan pengecekan gen terhadap semua anggota keluarga untuk melihat siapa yang membawa mutasi FFI. Setelah tahu, mereka diberi obat.

Kedua, mereka memilih 10 anggota keluarga berusia 42 hingga 52, yang diduga akan menderita FFI dalam satu dekade ke depan.

Takut untuk tahu

Meskipun ada peluang untuk 'sembuh', banyak anggota keluarga Silvano yang tidak ingin mengetahui hasil tes, karena jika mereka tahu bahwa mereka membawa mutasi FFI, keberadaan obat tidak akan menghilangkan rasa takut mereka akan mati.

Karena alasan ini, sebanyak 15 anggota keluarga yang sebenarnya tidak berisiko, tetap mendapatkan pengobatan yang sama. Ini berarti tidak ada satu pun anggota keluarga yang tahu hasil tes.

Tanpa pengobatan, Forloni memprediksi, setidaknya empat dari 10 anggota keluarga yang membawa mutasi FFI, akan terjangkit dalam satu dekade ke depan. Jadi, jika tim mendapatkan hasil lebih dari enam orang bebas dari FFI dalam 10 tahun ke depan, maka bisa disebut pengobatan berhasil. Dan obat pun akan digunakan lebih luas.

Meskipun metode membawa secercah harapan, tetap saja ada yang menilainya kontroversial. Cortelli salah satunya. Menolak untuk tidak ikut serta dalam proyek ini, Cortelli mempertanyakan standar etika dalam penerapan metode pengobatan.

Menurutnya, penggunaan antibiotik berpotensi membawa efek samping. Selain itu, ia skeptis dan menyebut 'keampuhan' obat yang digunakan Forloni dan koleganya, bukan berarti membuat obat tersebut manjur digunakan untuk jangka waktu panjang.

Dan bahkan, "jika ada anggota keluarga Silvano yang akhirnya bebas FFI setelah meminum obat, bisa saja itu karena orang tersebut beruntung". Beberapa orang yang membawa mutasi FFI, menurutnya, masih bisa hidup hingga usia 80 tahun, meskipun tidak diketahui apa yang menyebabkan FFI di tubuh mereka tetap 'tertidur'.

Namun, meskipun ada kekhawatiran dan ketidakpastian terkait pengobatan tersebut, tetap sangat gampang untuk dipahami mengapa banyak anggota keluarga Silvano yang memutuskan untuk mencoba pengobatan itu. Setidaknya ada peluang untuk menghentikan 'vonis mati' yang telah digariskan di DNA mereka.

Salah satu keponakan Silvano bercerita, dia diam-diam masuk ke kamar ibunya setiap malam, hanya untuk memastikan apakah sang ibunda tertidur atau tidak.

Dia mengaku seperti menjadi "mata-mata di rumahnya sendiri". Jika obat tersebut benar-benar berhasil, ini tentu akan menjadi akhir dari segala mimpi buruk keluarga ini - sebuah awal baru di mana setiap tidur mereka tak lagi diselimuti ketakutan, bahwa mungkin saat itulah tidur terakhir mereka.

Related

Science 1940001074033514170

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item