Kisah Tragis Orang-orang yang Tak Pernah Bisa Tidur (Bagian 1)

Kisah Tragis Orang-orang yang Tak Pernah Bisa Tidur

Naviri Magazine - Sejumlah keluarga menderita "insomnia fatal", penyakit mengerikan yang membuat penderitanya tidak bisa tidur selama berbulan-bulan. Tak diragukan, keletihan luar biasa melanda mereka. Akankah sebuah metode penyembuhan yang dinilai kontroversial, bisa menyelamatkan mereka?

Silvano sedang dalam kapal pesiar ketika 'kutukan keluarga' itu datang.

Dengan perawakannya yang elegan, lelaki 53 tahun yang gemar memakai tuksedo tersebut sedang bersiap-siap menghentak lantai dansa. Namun, malam itu tidak seindah yang dia kira. Dia malah malu tidak kepalang, karena entah mengapa malam itu pakaiannya bersimbah keringat.

Khawatir, Silvano langsung mencari cermin. Dia tertegun ketika melihat pupil matanya mengecil, menjadi sangat kecil. Hatinya mencelos, karena hal serupalah yang terjadi ketika ayah dan dua saudarinya pertama kali menderita penyakit misterius itu.

Dan dia sadar. Apa yang terjadi malam itu hanyalah permulaan. Dalam waktu-waktu ke depan, tubuh gemetar dan impotensi, menunggu untuk mampir satu per satu. Namun, gejala paling mengerikan dari penyakit misterius ini adalah kehilangan kemampuan untuk tidur. Tidak sebentar. Bisa berbulan-bulan. Sebuah kondisi yang bisa berujung dengan kematian.

Silvano pun mendatangi departemen ilmu tidur Universitas Bologna, untuk diteliti. Namun, ketika tahapan itu dia lalui, Silvano benar-benar sadar dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Dia bilang, 'saya tak akan bisa tidur lagi, dan dalam delapan hingga sembilan bulan ke depan, saya akan mati'," ungkap salah seorang dokternya, Pietro Cortelli.

Dokter Cortelli menambahkan, "Saya lalu bertanya kepadanya, 'kenapa bisa Anda begitu yakin akan seperti itu?' Lalu dia menggambarkan pohon silsilah keluarganya sejak abad 18."

Di setiap generasi, Silvano mengetahui siapa-siapa saja yang mendapatkan takdir yang sama dengan dirinya.

Seperti yang diprediksinya, Silvano meninggal dunia tidak sampai dua tahun kemudian. Namun, dia menyumbangkan otaknya untuk penelitian, berharap ada yang memecahkan penyakit misterius yang melanda keluarganya tersebut.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan otak orang yang menderita penyakit aneh ini?

Jawabannya mulai dapat diungkap oleh sejumlah peneliti, yang juga menyebut telah menciptakan obat yang bisa menyembuhkan penderita insomnia fatal genetik yang turun-temurun ("Fatal Familial Insomnia" - FFI) ini.

Pasien pertama

Keluarga Silvano tidak pernah angkat bicara perihal FFI yang menjangkiti mereka. Namun, sekitar 15 tahun lalu, keadaan itu berubah. Kepada penulis DT Max, mereka menuturkan kisahnya.

Menelusuri jejak penyakit ini, Max menemukan bahwa FFI kemungkinan bermula dari moyang Silvano, seorang dokter asal Venesia pada abad 18, yang mendadak lumpuh, baik secara fisik maupun mental. Segera setelahnya, kemenakannya, Guiseppe, dilanda penyakit yang sama.

Kondisi ini menurun ke putra-putranya, Angelo dan Vincenzo, terus hingga ke anak, cucu hingga ke cicitnya, sampai ke ayah Silvano, yang meninggal pada masa Perang Dunia II.

Meskipun peristiwa ini terus berlanjut dari generasi ke generasi, tetapi keluarga Silvano memilih untuk bungkam. Alasannya, mereka khawatir, membicarakan penyakit ini hanya akan membuat 'kutukan' tersebut datang lagi.

Namun, situasi itu berubah pada tahun 1980an, ketika gejala FFI mulai menyerang Silvano. Keponakannya, yang bersuamikan seorang dokter bernama Ignazio Roiter, meminta paman istrinya itu untuk mendatangi klinik ilmu-tidur terkenal di Universitas Bologna, tempat di mana Cortelli bekerja.

Silvano dan Cortelli berusaha memecahkan misteri penyakit tersebut. Meskipun upaya mereka tidak dapat menyembuhkan Silvano dan dua anggota keluarganya yang menyusul menderita FFI, penelitian serius mereka membuahkan hasil. Mereka menemukan akar penyakit ini.

FFI terjadi karena munculnya protein di otak, yang seharusnya tidak ada, bernama prion. Prion muncul karena adanya mutasi genetika. Tanpa alasan yang jelas, prion-prion tersebut muncul dan berkembang liar pada usia paruh baya, yang kemudian perlahan-lahan meracuni neuron otak.

Kondisi ini membuat FFI mirip penyakit Creutzfeldt–Jakob (CJD) dan penyakit Sapi Gila, yang sempat hangat diperbincangkan. Bedanya, jika CJD membuat otak tampak seperti keju Swiss (dengan bolongan-bolongannya), FFI menyerang lebih ke bagian thalamus otak, yang terletak di tengah-tengah otak sebesar kacang. Thalamus penderita FFI tampak seperti sudah dimakan ulat.

Namun, setelah penelitian panjang, ilmuwan akhirnya membuka tabir mengapa kerusakan pada bagian kecil otak tersebut bisa berujung pada kematian. Thalamus mengatur respons otonom terhadap lingkungan di sekitar. Respons itu bisa berwujud tekanan darah, detak jantung dan produksi hormon untuk membuat tubuh berjalan wajar.

Ketika bagian ini rusak, kejadiannya sama seperti saat pendingin ruangan kita kehabisan freon, atau ketika pipa air kita bocor, atau jendela tiba-tiba menghempas terbuka – semuanya kacau. Pada kasus Silvano, inilah yang mengakibatkan tubuhnya bersimbah keringat, pupilnya mengecil, impotensi dan sembelit.

'Tidur-tidur ayam'

Tidak terkendalinya kontrol spontan tubuh ini pulalah yang membuat pasien FFI menderita insomnia. Alasannya, tubuh mereka tidak bisa menyiapkan diri untuk tidur.

Jika pada orang sehat, tekanan darah menurun saat menjelang tidur, pada penderita FFI tekanan darahnya malah meningkat, sehingga membuat tubuh masih terus terjaga dan ‘siaga’. “Kalau sistem syaraf spontan kita tidak seimbang, tentu kita akan insomnia,” ungkap Cortelli.

Alhasil, ritme otak pun kacau. Pada orang yang tidak menderita FFI, saat tidur tubuh mereka akan memasuki beberapa tahap, yang dimulai tidur dengan tahap tidur “gerakan mata cepat”, yang disusul tidur “gelombang lambat” atau yang lebih dikenal dengan tidur nyenyak.

Pada tahap tidur nyenyak, osilasi listrik-frekuensi-rendah akan terjadi di sepanjang cortex, yang terletak di bagian permukaan otak. Cortex berfungsi untuk meredam sinyal peringatan yang biasanya aktif saat kita terjaga.

Dan bagian otak yang mengatur semua ritme itu adalah thalamus. Ketidakhadiran fungsi yang ‘memadamkan’ aktivitas tubuh ini, membuat penderita FFI tidak akan pernah tidur nyenyak, kata Angelo Gemignani dari Universitas Pisa.

Alhasil, tanpa tidur gelombang lambat, seseorang hanya bisa ‘tidur-tidur ayam’ – tidak tertidur, tetapi juga tidak bangun - di mana saat tertidur pasien tanpa sadar kerap melakukan aktivitas keseharian mereka.

Keadaan ini membuat Cortelli teringat salah seorang pasien FFI-nya, Teresa, yang tanpa sadar melakukan gerakan seperti sedang menyisir rambut orang. Sebelum terserang FFI, Teresa adalah seorang penata rambut.

Perlahan memburuk

Namun, dengan berbagai nuansa kelam yang menyelimutinya, ternyata tetap ada peluang untuk mengurangi derita pasien. Seorang psikolog di Touro College, New York, Joyce Schenkein, pertama kali bertemu pasiennya, Daniel, justru bukan ketika lelaki itu menjadi pasiennya. Schenkein mengenal Daniel lewat program radio yang dibawakan Daniel.

"Daniel selalu terdengar cerdas, sekaligus sangat lucu," ungkapnya.

Baca lanjutannya: Kisah Tragis Orang-orang yang Tak Pernah Bisa Tidur (Bagian 2)

Related

Science 1274691260657045724

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item