Kasus-kasus Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 1)

Kasus-kasus Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap

Naviri Magazine - Seperti negara lain, di Indonesia juga terjadi kasus-kasus kejahatan, baik yang berskala kecil maupun besar. Dan seperti di beberapa negara lain, di Indonesia pun ada kasus-kasus misterius yang tak pernah terungkap. Kasus itu bisa berupa pembunuhan, penghilangan orang, sampai korupsi.

Berikut ini beberapa kasus terkenal di Indonesia, yang juga misterius, karena sampai kini tak pernah terungkap jelas.

Kasus perkosaan Sum Kuning 

Tanggal 18 September 1970, Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun, tengah menanti bus di pinggir jalan, dan tiba-tiba diseret masuk ke dalam sebuah mobil oleh beberapa pria. Di dalam mobil, Sumarijem dibius hingga tak sadarkan diri. Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten, dan diperkosa bergilir.

Kasus ini cukup pelik karena, menurut Jendral Hoegeng, mantan Kapolri, para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat, dan salah seorang di antaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi (sumber: Buku Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, Penerbit Bentang).

Kasus Sum Kuning disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan, polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan, Trimo menolak mentah-mentah.

Jaksa menuntut Sum dengan penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua, Lamijah Moeljarto, menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu, Sum harus dibebaskan.

Tapi siapa pelaku pemerkosaan sebenarnya Sum Kuning masih menjadi tanda tanya besar sampai saat ini. Sebab Sum Kuning tetap pada pendiriannya bahwa pemerkosanya adalah sekumpulan anak pejabat, sementara 10 pemuda anak orang biasa yang diajukan ke pengadilan membantah tuduhan yang diajukan kepada mereka.

Hilangnya 13 aktivis Reformasi

Menjelang Reformasi di tahun 1998, ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik oleh militer, dan hingga kini keberadaan mereka masih misterius. Jika mereka sudah meninggal, dimanakah mereka dikuburkan, dan alasan apa yang menyebabkan sehingga militer menculik 13 orang aktivis ini?

Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.

Pasukan Kopassus dari tim mawar dianggap bertanggung jawab atas peristiwa menghilangnya 13 aktivis tersebut, dimana ada 24 orang yang diculik namun 9 orang berhasil bebas, yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Raharja Waluya Jati.

Pada 24 Agustus 1998, Letnan Jendral Prabowo Subianto, selaku Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad), diberhentikan dari dinas kemiliteran.

Menindaklanjuti keputusan Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, dilakukan penyelidikan oleh PUSPOM ABRI, dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari Kopassus diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis 1998 tersebut.

Namun, proses penyelidikan dan pengadilan tetap tidak memberikan kepastian di manakah mereka menahan para aktivis tersebut. Dan jika sudah meninggal, di manakah mereka menguburkan atau membuang mayat 13 aktivis yang hilang tersebut.

Misteri penembak misterius 

Penembak misterius (Petrus), atau juga dikenal sebagai Operasi Celurit, dianggap banyak orang sebagai operasi rahasia di masa pemerintahan Orde Baru, untuk menghabisi para gali (gabungan anak liar) dan preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat kala itu.

Hingga kini, para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap, dan tidak jelas siapa pelakunya.

Kemungkinan besar, adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982, saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo, atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat.

Lalu, di tahun yang sama, Soeharto kembali meminta polisi dan ABRI di hadapan RAPIM ABRI, untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.

Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius.

Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib, Laksamana Soedomo, melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta, yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983.

Dalam rapat yang membahas keamanan di ibu kota itu, kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya.

Operasi Celurit selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban Operasi Celurit pun mulai berjatuhan.

Petrus pada awalnya beraksi secara rahasia. Namun, lambat laun aksi mereka seperti teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar. Pada tahun 1983, operasi itu menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal.

Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984, korban Petrus yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban Petrus tewas, dan 28 di antaranya tewas karena tembakan.

Kematian peragawati terkenal 

Di era 1980-an, ada seorang peragawati ternama yang cantik, bernama Dietje, yang bernama lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih. Ia tewas dibunuh dengan tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak, kemudian mayatnya dibuang di sebuah kebun karet di bilangan Kalibata, yang sekarang menjadi kompleks perumahan DPR.

Setelah berita terkait kasus tersebut marak di media massa, polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama aslinya tidak diketahui, dan hanya dikenal dengan panggilan Pak De, dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin.

Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje, seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De, dibuat karena tak tahan disiksa polisi, termasuk anaknya yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya.

Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim. Akhirnya, Pak De dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Namun, publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring untuk meyakini bahwa yang membunuh Dietje adalah Pakde.

Akhirnya, 27 Desember 2000, Pak De dapat meninggalkan penjara, setelah pemerintah memberikan kebebasan bersyarat. Setelah menghirup udara bebas, Pak De lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah berwarna kelabu. Kepada setiap orang, kembali Pak De menyatakan, “Pak De tidak membunuh Ditje."

Baca lanjutannya: Kasus-kasus Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 2)

Related

Mistery 3839327196594134687

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item