Kasus-kasus Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2020/02/kasus-kasus-misterius-di-indonesia-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kasus-kasus Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Kasus pembunuhan Udin
Udin adalah wartawan Harian Bernas di Yogyakarta, yang tewas terbunuh oleh seseorang tak dikenal. Udin, yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin, pada Selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius, yang kemudian menganiaya dirinya, dan pada 16 Agustus 1996 Udin mengembuskan napas terakhir.
Udin tercatat sebagai wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Kasus Udin menjadi ramai, karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto, dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut, dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan.
Kasus Udin menjadi gelap, akibat hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus kematian sang wartawan, dan juga terdapat beberapa orang yang dikambinghitamkan atas peristiwa kematian Udin.
Hingga kini, para pelaku kejahatan pembunuhan terhadap sang wartawan yang kritis tersebut tak pernah terungkap.
Kasus pembunuhan Marsinah
Marsinah adalah buruh pabrik dan aktivis buruh, yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada 8 Mei 1993, di usia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh, yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Awal kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992, yang berisi imbauan pada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya, dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.
Imbauan tersebut disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahan beban pengeluaran perusahaan.
Siang hari, tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu, mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya, yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6, 7, 8 Mei, keberadaan Marsinah tidak diketahui rekan-rekannya, sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada 8 Mei 1993.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713. Hingga kini, kasus Marsinah tetap menjadi misteri, dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia.
Kasus menghilangnya Edy Tansil
Edy Tansil adalah pengusaha yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan, yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang, atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1,5 triliun rupiah dengan kurs dollar saat itu).
Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada 4 Mei 1996, dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy Tansil melarikan diri, dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, bernama Gempita, melaporkan bahwa Edy Tansil menjalankan bisnis perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman, bernama Becks Beer Company, di kota Pu Tian, Provinsi Fujian, China.
Di tahun 2007, Tempo Interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK), berdasarkan temuan dari PPATK, menyatakan akan segera memburu Edy Tansil, dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil tetap misteri.
Ada beberapa koruptor yang juga melarikan diri ke luar negri, dan hingga kini keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap, seperti Adelin Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto, dan masih banyak lainnya.
Kasus pembunuhan Munir
Munir sebenarnya akan melanjutkan studi S2 di Univeritas Utrecht, Belanda. Dalam kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM itu, disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Polycarpus, seorang pilot pesawat Garuda, yang sedang tidak bertugas.
Polycarpus menawari Munir untuk berganti tempat duduk pesawat, di mana Munir menempati kursi Polycarpus di kelas bisnis, dan Polycarpus menempati kursi Munir di kelas ekonomi.
Sebelum pesawat mengudara, flight attendant (pramugari) Yetti Susmiarti, dibantu pramugara senior, Oedi Irianto, membagikan welcome drink kepada para penumpang, dan Munir memilih jus jeruk.
Pukul 22.05 WIB, pesawat lepas landas, dan 15 menit kemudian flight attendant membagikan makanan dan minuman kepada para penumpang. Munir memilih mi goreng, dan kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya.
Setelah mengudara hampir 2 jam, pesawat mendarat di bandara Changi, Singapura. Di bandara Changi, Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi, sedangkan seluruh awak pesawat, termasuk Polycarpus, berangkat menuju hotel menggunakan bus.
Dalam perjalanan dari Singapura menuju Belanda, seluruh awak pesawat berbeda dari perjalanan dari Jakarta menuju Singapura. Dalam perjalanan, Munir meminta segelas teh hangat pada flight attendant Tia Ambarwati, dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli, dilengkapi gula sachet.
Tiga jam setelah mengudara, Munir bolak balik ke toilet. Saat berpapasan dengan pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi, seorang dokter yang ia kenal saat hendak berangkat, yang kebetulan juga menuju Belanda.
Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat, Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir makin parah, mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa, dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya, dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit Rumania.
Hingga kini, kasus kematian masih misterius. Meski telah ada beberapa orang yang dijatuhi hukuman dengan tuduhan membunuh Munir, namun banyak pihak—termasuk istri almarhum Munir—yang belum puas dan berharap pemerintah menuntaskan kasus kematian aktivis HAM tersebut.