Kisah-kisah Para Korban Terorisme di Indonesia, Antara Luka dan Trauma (Bagian 1)

Kisah-kisah Para Korban Terorisme di Indonesia, Antara Luka dan Trauma, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Terkait wacana pemulangan 600 WNI eks ISIS tempo hari, yang belakangan akhirnya diputuskan untuk tidak dipulangkan ke Indonesia, ada hal lain yang mungkin jarang kita ketahui, yakni perasaan para korban yang pernah mengalami tindak kekerasan dan teror dari anggota atau simpatisan ISIS di Indonesia. Berikut ini kisah-kisah mereka.

Penglihatan Yohanes Triyanta (41) agak kabur. Mata Yohanes tak lagi dapat melihat dengan sempurna, kerusakan syaraf membuat mata kirinya sulit untuk melihat. Ketika kumat, kelopak mata kirinya menutup sendiri. "Terakhir kemarin itu sampai tidak bisa melihat, mata kiri menutup sendiri dan tidak bisa membuka," kata Yohanes.

Yohanes adalah satu di antara lima korban penyerangan teroris di Gereja Santa Lidwina, Gamping, Sleman, Yogyakarta pada 11 Februari 2018. Ia mengalami luka sabetan pedang di sepanjang dahi, horizontal di atas mata kanan sampai kiri. Seorang teroris bernama Suliyono memasuki gereja dan menyerang jemaat dengan sebilah pedang saat misa.

Polisi menyebut Suliyono terpapar paham radikal, dan hendak berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Saat penyerangan, Yohanes duduk di bangku belakang yang berada di dekat pintu. Seketika Suliyono masuk mengayunkan pedangnya, Yohanes menjadi salah satu orang yang terkena sabetan karena tidak sempat menyelamatkan diri.

Meski telah mendapatkan pengobatan dan pernah juga dioperasi, beberapa kali sakit dari luka yang dideritanya itu kambuh. Selama dua tahun terakhir ia sudah tiga kali kambuh hingga penglihatannya semakin menurun. "Mata saya terganggu dalam hal penglihatan, karena ada beberapa syaraf yang terakhir saya periksa itu tidak berfungsi secara baik atau seperti semula," kata dia.

Tak hanya secara fisik, serangan yang dialaminya juga menimbulkan trauma yang mendalam. Misalnya ketika melihat pisau dari yang mulai ukuran kecil hingga besar, pasti langsung membuat ia ketakutan. Tak hanya itu, mendengar cerita tentang kekerasan, terlebih kekerasan dengan senjata tajam juga membuat ia takut.

"Dan saya sangat-sangat benci terhadap tindakan kekerasan terutama dilakukan dengan senjata tajam," ujarnya. Yohanes ingin tak ada lagi sakit dan trauma seperti apa yang ia alami sebagai korban kejahatan terorisme. Ia ingin tak ada lagi aksi terorisme dengan dalih apa pun.

"Saya sebagai korban sangat mengutuk tindakan penyerang saya. Saya tidak kenal, tidak punya masalah, bukan musuh terhadap pelaku. Saya menjadi orang yang sangat dirugikan, rugi waktu, tenaga, pikiran, material dan bahkan bisa juga nyawa," kata dia.

Tak sepakat pemulangan WNI Eks ISIS 

Yohanes tak sepakat jika para warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS di luar negeri harus dipulangkan. Menurutnya, hal itu malah akan menambah masalah. "Mereka datang ke sana atas perintah siapa. Sampai beranak pinak dan berkeluarga, tujuannya apa dan atas inisiatif siapa? Apakah pemerintah yang menyuruh atau bagaimana?" kata Yohanes.

Jika memang mereka mendukung ISIS melakukan tidak kekerasan di luar negeri, kemudian dipulangkan oleh pemerintah, Yohanes ragu pemerintah bisa menjamin mereka tak melakukan tindak kekerasan kembali. "Kalau tidak bisa menjamin ya buat apa dipulangkan. Tapi kalau bisa menjamin ya monggo, wong itu warga negara Indonesia," ujar Yohanes.

"Jadi kenapa yang diurusi kok malah yang itu? Kenapa tidak yang lain saja, misalnya TKW atau siapa pun yang lebih berguna di Indonesia," tambahnya.

Korban teror di Gereja Santa Lidwina lainnya, Rustiana Eka Wulandari Patricia (51), ragu WNI eks ISIS bisa sadar. Ia menilai paham radikal yang mereka anut susah luntur, sekalipun lewat program deradikalisasi.

"Mereka kan sudah dicuci otak, paham mereka sudah melekat begitu kuat. Apakah mungkin untuk disadarkan kembali?" tanya Wulan. "Sudah jelas-jelas ikut ISIS yang memporak-porandakan dunia seperti itu kok mau diterima. Malah membikin kelompok baru yang lebih besar bagaimana. Terus terang saja, kalau saya tidak setuju kalau mereka dipulangkan."

Sementara Y.M Sukatno (64), jemaah yang juga mengalami teror dan trauma ketika penyerangan di Gereja Lidwina, mengatakan pemulangan WNI eks ISIS harus dengan syarat. Sukatno mengatakan, WNI eks ISIS harus berjanji untuk mengikuti Pancasila sebagai WNI, dan menjalankan perintah agama tanpa kekerasan.

"Kalau dia bisa menerima Pancasila ya tidak apa-apa [dipulangkan], karena memang dia juga orang Indonesia. Tapi ya jangan hanya cuma karena di sana kesulitan terus dia mau masuk Indonesia, jangan hanya [janji setia NKRI] di bibir saja," tegasnya.

Baca lanjutannya: Kisah-kisah Para Korban Terorisme di Indonesia, Antara Luka dan Trauma (Bagian 2)

Related

World's Fact 715642740925061193

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item