Kisah-kisah Para Korban Terorisme di Indonesia, Antara Luka dan Trauma (Bagian 2)

Kisah-kisah Para Korban Terorisme di Indonesia, Antara Luka dan Trauma, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah-kisah Para Korban Terorisme di Indonesia, Antara Luka dan Trauma - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Memantik trauma 

Sucipto Hari Wibowo pasrah saja ketika melihat pemberitaan mengenai wacana kepulangan 660 WNI eks ISI. Pria yang menjadi penyintas atas pengeboman Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 9 September 2004 tersebut, mendaku menyerahkan hal itu kepada pemerintah.

“Mereka [pemerintah] punya instrumen hukum dan deradikalisasi. Pemerintah pasti sudah menyiapkan, baik itu menerima ataupun menolak,” ujar pria yang menjabat sebagai Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI).

Cipto mengalami luka pada gendang telinga dan kerusakan syaraf akibat ledakan bom 2004 silam. Ia mengalami trauma hingga tak mampu melewati lokasi kejadian dan mendengar bunyi keras. Dia sudah menjalani rehabilitasi medis dan mental. Saat ini, ia mendaku masih rutin melakukan rawat jalan dengan sokongan dari LPSK.

Cipto juga rutin membuat agenda penyembuhan untuk sesama anggota YPI yang berjumlah sekitar 700 orang korban terorisme di Indonesia. Hal itu pula yang membuat Ia berangsur-angsur pulih dari tragedi.

“Alhamdulillah. Saya sekarang masih bekerja di perusahaan swasta, dengan segala keterbatasan. Kalau kebanyakan kerja, harus cepat istirahat. Nanti kepala saya kambuh lagi,” ujarnya.

Meski demikian, Cipto tidak bisa memungkiri bahwa emosinya bergejolak setiap kali ada pemberitaan mengenai terorisme di media massa. Ia tidak habis pikir insiden keji macam itu terus berulang.

“Kebangetan banget. Teman-teman [sesama penyintas di YPI] juga banyak emosional. Malah sampai ada yang tendang tembok, mengumpat. Saya cuma ‘yah kok ada lagi’,” ujarnya.

Berbeda dengan Cipto, Ni Kadek Ardani menolak wacana pemulangan WNI eks ISIS. Dek Bobo, panggilan akrabnya, merupakan penyintas insiden pengeboman di Bali pada 1 Oktober 2005 atau yang dikenal sebagai Bom Bali II. Menurut Dek Bobo, seharusnya para WNI eks ISIS itu bukan lagi menjadi urusan pemerintah Indonesia.

“Karena mereka keluar jadi warga negara Indonesia demi ISIS dan menjadi teroris […] Kemudian mereka datang lagi ke Indonesia. Haduh,” ujarnya wanita berusia 35 tahun ini.

Ia mendaku menyimpan rasa takut ketika mengetahui rencana pemulangan WNI eks ISIS. Ia meminta agar pemerintah menelaah kembali wacana tersebut. Menurutnya, masih ada banyak urusan dalam negeri yang membutuhkan perhatian khusus.

“Yang lebih urgent itu pemerintah harus membenahi sikap toleransi yang masih semerawut di negara ini,” ujarnya.

Setidaknya, menurut dia, pemerintah lebih baik fokus dulu pada penanganan isu kesehatan yang merebak belakangan ini: virus Corona. “Masih banyak saudara-saudara kita yang butuh bantuan untuk balik ke Indonesia. Semisal kebakaran di Australia. Virus yang lagi merebak. Itu saja difokuskan. Masih menjadi warga Negara Indonesia,” ujarnya.

Dek Bobo mengalami luka fisik dan trauma akibat bom Bali II. Saat bom meledak, ia sedang bekerja di Restoran Menega. Saat ini, Dek Bono rutin berobat jalan dengan pendanaan yang ditanggung LPSK. Selain itu ia juga rutin berkumpul dengan sesama penyintas untuk mengurangi trauma.

Namun, pemberitaan media massa mengenai rencana pemulangan WNI eks ISIS membuat dirinya resah. Pemberitaan semacam itu memantik trauma yang dialaminya. “Apa lagi sekarang, nonton televisi ada [pemberitaan] pemulangan eks ISIS. Wah, parah,” tandasnya.

Related

World's Fact 5985523549733887534

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item