Bagaimana China Menghadapi Wabah Corona, dan Bangkit dari Kehancuran

Bagaimana China Menghadapi Wabah Corona, dan Bangkit dari Kehancuran, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Wabah COVID-19 atau virus corona kini menyebar hampir ke seluruh belahan dunia. Virus yang bermula dari Wuhan, salah satu kota di Provinsi Hubei, China, membuat beberapa negara memutuskan untuk melakukan karantina atau lockdown untuk mencegah penyebaran.

Kota Wuhan merupakan epicentrum virus Corona yang diduga berasal dari hewan liar yang dijual di pasar. Virus Corona mulai mewabah di Wuhan sejak Desember 2019, dan telah menyebabkan kota ini harus lockdown sejak 23 Januari.

Setelah lockdown, penduduk di Wuhan juga dilarang keluar kawasan tanpa izin dari pihak berwenang. Keesokan harinya, 12 kawasan lain yang terhubung langsung dengan Wuhan juga menerapkan lockdown serupa.

Pasca lockdown, penambahan kasus di Wuhan dan sekitarnya meningkat signifikan, namun di wilayah lain di luar Provinsi Hubei cukup sedikit.

Dengan aturan lockdown di kawasan-kawasan ini, total lebih dari 50 juta orang tak dapat bergerak keluar dari tempat mereka berada. Memasuki Februari, pemerintah China memperluas lockdown dengan menutup semua perusahaan tidak strategis, termasuk pabrik pengolahan, di Provinsi Hubei.

Sejak dilakukan penutupan, angka penularan Corona perlahan menurun. Dalam waktu lima hari terakhir, tidak ditemukan kasus baru di Hubei. Sementara itu, Komisi Kesehatan Nasional pada Senin (23/03/2020) lalu mengatakan, sebanyak 9 orang meninggal di Wuhan.

Saat ini, meski menjadi penduduk terpadat di dunia, China berada di posisi 15 untuk kasus aktif corona, yakni sejumah 3.460 kasus. Bahkan yang sembuh mencapai 74.588 orang hingga hari ini dan terus bertambah.

Penurunan kasus corona aktif di China disebabkan karena pasien yang sembuh lebih banyak dibandingkan penambahan kasus positif.

Sementara itu, sebanyak 14 negara yang mencatat kasus aktif terbanyak, yakni Amerika Serikat, mencapai 82.443 kasus aktif, jauh melebihi China ketika mencapai puncaknya.

Setelah itu Italia, dengan kasus aktif 62.013 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 8.215 kasus. Kemudian ada Spanyol, Jerman, Prancis, Iran, Swiss, Inggris, Belanda, Austria, Belgia, Korea Selatan, Kanada, Turki, barulah China.

Kebijakan lockdown di China tidak hanya sekadar lockdown, tetapi dibarengi dengan pembangunan belasan rumah sakit temporer untuk menampung pasien corona. Rumah sakit itu merawat belasan ribu pasien yang tidak tertampung dua rumah sakit permanen. Di Kota Wuhan saja, ada 15 rumah sakit temporer yang merawat sekitar 12.000 pasien.

Kini, setelah kasus COVID-19 menurun drastis, pemerintah China pun menutup RS temporer tersebut.

"Keberadaan rumah sakit temporer ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pelayanan, dan menampung pasien semaksimal mungkin dengan sumber daya dan tempat yang minimal. Mulai 11 Februari, rumah sakit ini sudah memulangkan 28 pasien, dan sejak saat itu setiap hari ada pasien yang diperbolehkan pulang," kata Wang Chen, Presiden Akademi Ilmu Kedokteran China, seperti dikutip dari China Daily.

Bahkan, aktivitas masyarakat kembali pulih meski belum 100%. Konsumen mulai memadati pusat perbelanjaan dan restoran karena social distancing tidak lagi diperlukan.

"Sudah terlihat banyak orang di pusat kota, jauh berbeda dengan pemandangan Februari. Orang-orang sudah mulai mengantri untuk membeli barang," ujar Chen Jiayi, seorang mahasiswi di Shanghai, seperti dikutip dari Reuters.

Baca laporan lengkap » Data, Fakta, dan Perkembangan Wabah Corona.

Related

News 8061154490718915733

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item