Dampak Wabah Corona Pada Nasib dan Kehidupan Para Wanita di Asia (Bagian 1)

Dampak Wabah Corona Pada Nasib dan Kehidupan Para Wanita di Asia,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Sejak mewabah di China Desember lalu, virus corona telah menginfeksi lebih dari 110.000 orang, dengan pasien meninggal mencapai lebih dari 3.600 orang di lebih 80 negara di seluruh penjuru dunia.

Selain aksi-aksi dalam mencegah dan mengobati penyakit Covid-19, dampak sosial yang ditimbulkan oleh virus SARS-CoV-2 itu juga sangat signifikan di Asia. Kaum perempuanlah yang terkena dampaknya secara tidak proporsional.

"Krisis selalu memperburuk ketimpangan gender," kata Maria Holtsberg, penasihat risiko bidang kemanusiaan dan bencana di UN Women Asia dan Pacific.

Berikut adalah lima akibat yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 dalam kehidupan sosial para perempuan di Asia.

Penutupan sekolah

"Saya sudah berada di rumah selama lebih dari tiga minggu sekarang, bersama anak-anak," kata jurnalis dan ibu dari dua anak, Sung So-young.

Sung tinggal di Korea Selatan, yang baru-baru ini mengumumkan menunda jadwal masuk tahun ajaran baru, hingga dua minggu ke depan. Sehingga, anak sekolah diliburkan hingga 23 Maret mendatang.

Pada 4 Maret lalu, sekitar 253 juta murid sekolah di Korea Selatan, China, dan Jepang dari tingkat pra-sekolah dasar hingga menengah atas, tidak bersekolah, menurut angka terbaru dari UNESCO.

Langkah itu menyulitkan para perempuan di Asia, seperti yang dialami Sung, karena di banyak negara Asia timur para ibu memikul beban yang tidak proporsional di rumah, dan dia mengatakan merasa "tertekan".

"Sejujurnya, saya ingin pergi ke kantor karena saya tidak bisa benar-benar fokus di rumah," kata Sung. "Tapi suamiku adalah pencari nafkah dan dia tidak bisa meminta cuti."

Sung, bersama putrinya berusia 11 tahun dan putranya berusia lima tahun, menghabiskan hari dengan bermain dan menonton film. Dia mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah ketika kedua anaknya sedang tertidur.

Situasi yang dialami Sung merupakan cerminan atas catatan buruk Korea Selatan tentang kesetaraan gender di tempat kerja. Pada tahun 2020, the World Economic Forum menempatkan Korea Selatan diperingkat 127 dari 155 negara tentang partisipasi perempuan dalam ekonomi.

Bahkan, Sung telah mendengar anekdot bahwa beberapa perusahaan memotong upah karyawan perempuan yang tidak dapat datang ke kantor karena harus mengasuh anak akibat penutupan sekolah.

"Banyak perusahaan tidak mengatakan ini, tetapi mereka masih melihat ibu yang bekerja sebagai beban, dan kurang kompetitif. Lagi pula, jika Anda tidak memiliki anak, Anda bisa datang ke kantor lebih sering," katanya.

Pemerintah Jepang mengumumkan akan memberikan insentif bagi perusahaan hingga US$80 per orang per hari, jika para karyawan mengambil cuti untuk merawat anak-anak yang libur karena penutupan sekolah.

Pusat-pusat penitipan anak dan klub usai-sekolah diizinkan untuk beroperasi, guna membantu para orang tua, namun langkah itu tetap saja menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penutupan.

"Menutup sekolah tidak membantu menghentikan sepenuhnya penyebaran virus. Itu hanya menambah beban para ibu yang bekerja," kata Natsuko Fujimaki Takeuchi, pemilik usaha kecil.

"Ini sangat menantang untuk bisnis, saya tidak mendapatkan dukungan yang sama dengan yang perusahaan besar dapatkan di tengah gangguan ekonomi."

Kekerasan rumah tangga

Ketika jutaan orang di China menghabiskan waktu di dalam rumah atau ruangan untuk melindungi diri dari virus corona, di sisi lain aktivis hak asasi mengatakan terjadi pula peningkatan kekerasan dalam rumah tangga.

Guo Jing, aktivis perempuan yang baru saja pindah ke Wuhan - tempat asal virus corona - pada November 2019 mengatakan, ia secara pribadi telah menerima laporan-laporan dari orang muda yang tinggal di kota yang dikarantina itu, yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga di antara orang tua mereka.

Jing mengatakan, para penelepon tidak tahu ke mana harus mencari bantuan.

Kemudian, Xiao Li, seorang aktivis China yang tinggal di wilayah perbatasan antara Provinsi Henan dan Provinsi Hubei, mengatakan kekhawatirannya setelah seorang kerabat meminta bantuannya usai diserang oleh mantan suami.

"Awalnya, kami merasa tidak mungkin bisa mendapatkan izin bagi dia untuk meninggalkan desanya," kata Li.

"Setelah menerima banyak bujukan, polisi akhirnya memberikan izin keluar dan masuk kepada saudara lelaki untuk dapat bertemu dan menjenguk dia serta anak-anak."

Ketika laporan-laporan tentang kekerasan dalam rumah tangga bermunculan di media sosial, beberapa perempuan membuat poster yang mengingatkan setiap orang untuk membantu menghalangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan tidak hanya menjadi penonton yang pasif.

Tanda pagar #AntiDomesticViolenceDuringEpidemic telah dibahas lebih dari 3.000 kali di platform media sosial Cina, Sina Weibo.

Pekan lalu, direktur Weiping, lembaga masyarakat yang melindungi hak-hak perempuan, Feng Yuan, mengatakan organisasinya telah menerima laporan tiga kali lebih banyak dibandingkan sebelum karantina.

"Polisi seharusnya tidak menggunakan alasan epidemi untuk tidak menganggap serius kekerasan dalam rumah tangga," katanya.

UN Women juga prihatin tentang kemungkinan terjadinya pengalihan layanan untuk para perempuan menjadi fokus untuk penanggulangan wabah corona.

"Mengalihkan sumber daya dari layanan kritis yang diandalkan perempuan, seperti pemeriksaan kesehatan rutin atau layanan kekerasan berbasis gender, adalah sesuatu yang sangat kami perhatikan," kata Holtsberg.

Pekerja perempuan: Tenaga kesehatan di garis depan

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 70 persen pekerja di sektor kesehatan dan sosial berasal dari kaum perempuan.

Media China telah mempromosikan cerita-cerita tentang perjuangan para perempuan yang bekerja di garis depan, seperti perawat. Namun, bagaimana sebenarnya kisah nyata yang dialami tenaga medis perempuan itu?

Sebuah video yang menunjukkan para petugas kesehatan perempuan dari Provinsi Gansu mencukur rambutnya, sebelum ditugaskan untuk membantu para pasien virus corona, memicu perhatian di media sosial.

Lalu, ada juga cerita tentang pekerja medis yang hamil sembilan bulan mengalami keguguran namun tetap kembali bekerja, yang memicu reaksi karena menjadi pertunjukan propaganda dan membentuk sebuah preseden yang berbahaya.

Bulan lalu, BBC mewawancarai seorang perawat yang mengungkapkan bahwa staf rumah sakit tidak diizinkan untuk makan, beristirahat, hingga menggunakan toilet saat waktu bekerja selama 10 jam.

Ketika aturan itu berlaku untuk semua staf rumah sakit, para perempuan juga harus memikul lapisan perlakuan diskriminatif, kata Jiang Jinjing.

Baca lanjutannya: Dampak Wabah Corona Pada Nasib dan Kehidupan Para Wanita di Asia (Bagian 2)

Related

News 8698635322322909351

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item