Tantangan Marketplace di Indonesia, dari Aturan Pemerintah Sampai Pajak

Tantangan Marketplace di Indonesia, dari Aturan Pemerintah Sampai Pajak, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - E-commerce di Indonesia harus menghadapi sejumlah tantangan yang masih akan terus menghantui hingga tahun-tahun mendatang. Tantangan yang paling mencemaskan adalah terlambatnya pendidikan di Tanah Air memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang relevan dengan kemajuan teknologi.

Hal demikian sudah barang tentu bakal menyulitkan e-commerce untuk mendapatkan tenaga kerja dengan kompetensi spesifik yang dibutuhkan e-commerce. Beberapa posisi yang sulit dicari adalah digital marketer dan produk manajer.

Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDEA), Ignatius Untung, mengatakan, “Kampus harus bisa ngejar. Kalau nggak bisa ngejar ya masalah buat semuanya. Kita sekarang sudah ngomongin personalization, blockchain, dan belum lagi ngomongin big data.”

Selain kebutuhan tenaga kerja, e-commerce juga harus dihadapkan dengan beberapa regulasi pemerintah yang sedikit menyulitkan. Kesulitan utama ada pada persyaratan untuk mendirikan e-commerce, di mana saat ini semua perusahaan e-commerce harus terdaftar di Kementerian Perdagangan.

Aturan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dalam beleid ini dijelaskan, semua pedagang termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang melakukan penjualan secara daring harus terdaftar dan tercatat oleh negara.

“Sebenarnya dukungan pemerintah sudah bagus. Tapi untuk yang satu ini mungkin agak subjektif. Semua harus terdaftar. Saya pikir, kalaupun harus terdaftar, mungkin harus proporsional. Jangan disamakan antara e-commerce yang besar dengan yang kecil,” kata Ignatius.

Di samping itu, tantangan lain adalah minimnya ketersediaan logistik di Tanah Air, sehingga e-commerce kerap mengimpor barang dari luar negeri. Sementara untuk mengimpor barang dari luar, e-commerce harus membayar bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang nilainya tidak kecil.

Berdasarkan peraturan terbaru ambang batas (threshold) barang impor yang ditetapkan Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Kementerian Keuangan, semua barang impor dengan harga di atas Rp45.000 dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dan PPN 10%.

“Biaya-biaya itu kan lumayan. E-commerce bisa serba salah. Kalau dibebankan kepada konsumen, produknya bisa nggak laku. Kalau diambil sendiri pasti menjadi beban perusahaan juga,” kata dia.

Sementara menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, besaran PPN dan bea masuk untuk barang impor e-commerce justru masih belum memberikan kontribusi maksimal bagi pendapatan pajak negara.

Justru itu, kata Yoga, pemerintah kini sedang berupaya mengebut pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law perpajakan, agar bisa mendapatkan pajak lebih dari e-commerce. Sebab, menurut dia, hingga saat ini masih banyak e-commerce yang belum taat terhadap pajak, khususnya yang berada di luar negeri.

Omnibus law perpajakan nantinya akan mengatur subjek pajak luar negeri (SPLN) secara lebih detail. Bagi e-commerce di luar negeri yang menjual barang tidak berwujud atau jasa, nantinya bakal dikenakan Pajak Penghasilan (PPH) dengan adanya peraturan baru tersebut.

Adapun peraturan yang bakal dikoreksi nantinya adalah pasal 7 PP Nomor 80 Tahun 2019. Dalam beleid tersebut dijelaskan, penyedia layanan transaksi elektronik dari luar negeri yang memenuhi syarat significant economic presence (SEP) wajib menunjuk perwakilannya di Indonesia untuk menyetor PPN kepada negara.

Namun pada realisasinya, pajak dari SPLN ini kerap tidak berjalan dengan baik, lantaran masih mewajibkan adanya kehadiran fisik atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi e-commerce yang beroperasi di Indonesia.

Banyak e-commerce jasa yang mangkir dari kewajiban pajaknya, sehingga malah merugikan konsumen. Konsumen dipaksa membayar 10% PPN setiap kali melakukan transaksi barang tidak berwujud, semisal film atau sejenisnya.

“Secara realitas, itu nggak berjalan. Akhirnya dikenakan justru ke konsumen. Nanti melalui Omnibus Law, kita bisa kejar. Syarat BUT itu tidak berdasarkan lagi kehadiran fisik, tapi kehadiran ekonominya,” jelas Yoga.

Sebelumnya, pemerintah juga sudah mengenakan pajak bagi e-commerce dengan besaran yang variatif, tergantung omzet. Bagi e-commerce yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar per tahun bakal dikenakan PPN 10% dan PPH 0,5%.

Sebelumnya, pemerintah juga sudah mengenakan pajak bagi e-commerce dengan besaran yang variatif, tergantung omzet. Bagi e-commerce yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar per tahun bakal dikenakan PPN 10% dan PPH 0,5%.

Sementara bagi yang beromzet di bawah itu akan dikenakan PPH 0,5%. Nilai 0,5% ini berlaku untuk semua e-commerce, termasuk UMKM yang menjual produknya melalui platform online.

“Misalnya dia UMKM, dia mau buka toko, yang apa namanya seperti Bukalapak atau Tokopedia, dia harus menyetor PPH 0,5% itu. Kalau omzetnya di atas Rp4,8 miliar setahun itu harus menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak) dipungut PPN,” pungkas Yoga.

Related

Internet 4723470755153889499

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item