Kisah Bencana Kelaparan di Jawa, Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang (Bagian 1)

Kisah Bencana Kelaparan di Jawa, Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Dua puluh tahun pertama penerapan Cultuurstelsel—yang dimulai sejak 1830—adalah masa tersulit bagi petani di Pulau Jawa. Para petani dan penduduk desa umumnya diwajibkan menyerahkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor seperti nila, tebu, dan kopi. Selain itu, para petani juga wajib menanam, memelihara, dan memanen tanaman-tanaman ekspor tersebut.

Gara-gara itu, sawah-sawah di beberapa daerah jadi terbengkalai. Para petani juga tak punya cukup tenaga dan waktu untuk mengurus padi, karena dibebani pekerjaan pembangunan prasarana dan infrastruktur. Tak heran jika sepuluh tahun kemudian krisis pangan dan bencana kelaparan mulai melanda Jawa.

Daerah pesisir utara Jawa beberapa kali dihantam krisis pangan parah dalam dekade 1840-an. Sebagaimana yang terjadi di Cirebon pada 1843, bencana yang sama juga terjadi di Demak dan Grobogan selama 1848 sampai 1850.

Tentang kasus ini, Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (2008, hlm. 365) mencatat, “Jumlah penduduk Demak, misalnya, telah turun dari 336.000 sampai 120.000, sedangkan jumlah penduduk Grobogan turun dengan lebih banyak lagi, yaitu 89.500 sampai 9.000.”

Meski begitu, krisis pangan tidak sepenuhnya gara-gara gagal panen. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, penyebab lain mahalnya harga beras adalah penimbunan oleh elite lokal atau pedagang Cina. Selain bikin harga melonjak, keculasan macam itu juga membuat masyarakat perdesaan kesulitan mengaksesnya.

Kondisi rudin ini memaksa masyarakat perdesaan Jawa bersiasat. Salah satu jalan keluar dari krisis pangan saat itu adalah memanfaatkan sumber pangan alternatif seperti jagung dan singkong. Jagung yang diperkirakan mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-17, telah jadi tanaman sawah yang lazim di Jawa, terutama di daerah-daerah kering.

Demikian halnya dengan singkong. Antropolog Clifford Geertz menyebut bahwa petani di Banten, Semarang, Jepara, dan Priangan, sudah biasa menanam singkong. Sebagai bahan pangan, popularitas singkong kian naik di pengujung abad ke-19. Sekitar dekade 1880-an, pemerintah kolonial bahkan serius menggalakkan penanaman jagung dan singkong—dan tanaman palawija lain—sebagai sumber pangan pokok selain padi.

“Dalam dasawarsa pertama abad ini (abad ke-20), palawija telah menjadi bagian yang integral dari pertanian desa, baik sebagai tanaman kedua di sawah saat musim kemarau maupun di tanah-tanah kering yang disebut tegal—sesudah ditanami biasanya diistirahatkan,” tulis Geertz dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (2016, hlm. 113).

Zaman Malaise dan Jepang

Memasuki awal 1930-an, masyarakat Hindia Belanda mesti kembali berhadapan dengan krisis pangan, kala depresi ekonomi melanda dunia.

Para orang tua mengenang zaman itu sebagai Malaise alias zaman meleset. Harga komoditas ekspor utama Hindia Belanda seperti gula, kopi, tembakau, hingga karet, jatuh di pasar internasional. Industri yang pada abad sebelumnya jadi penopang perekonomian tanah jajahan tak pernah bisa bangkit lagi. Buruh pabrik dan perkebunan hingga pegawai pemerintahan di seluruh negeri tiba-tiba kehilangan pekerjaan.

Jatuhnya pendapatan ekspor itu memaksa pemerintah kolonial mengurangi impor bahan pangan. Hal itu lantas memicu krisis pangan di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda. Sebenarnya, krisis tersebut bukan hal yang tak terprediksi, karena sejak paruh akhir abad ke-19 banyak lahan tanaman pangan dialihfungsikan jadi perkebunan dan pabrik.

Ricklefs menyebut bahwa banyak pekerja bumiputra yang mencoba kembali bertani untuk menyambung hidup di masa krisis. Sebagian lahan tebu yang terbengkalai sejak jatuhnya harga gula pun dikonversi lagi untuk bertanam padi. Tapi, hasilnya sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan populasi yang terus naik.

“Dalam kenyataannya, ketersediaan bahan makanan untuk per kapita menurun dari tahun 1930 hingga tahun 1934. Sungguh, tidak diragukan lagi bahwa setidaknya hingga akhir tahun 1930-an, kesejahteraan Indonesia menurun,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008, hlm. 387).

Siasat lama pun dilakukan kembali demi bertahan hidup. Singkong kembali jadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Baca lanjutannya: Kisah Bencana Kelaparan di Jawa, Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang (Bagian 2)

Related

Indonesia 1151105683374615135

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item