Kisah-kisah Tragis PRT di Tengah Corona: Dipecat Tanpa Pesangon, Kehabisan Uang, Bingung Bayar Tagihan, hingga Terlilit Utang (Bagian 1)

Kisah-kisah Tragis PRT di Tengah Corona: Dipecat Tanpa Pesangon, Kehabisan Uang, Bingung Bayar Tagihan, hingga Terlilit Utang naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Dipecat lewat aplikasi pengirim pesan, dirumahkan tanpa digaji, lalu tidak dapat tunjangan hari raya (THR) atau pesangon, para pekerja rumah tangga (PRT) kini berjuang untuk bertahan hidup hari demi hari dalam lilitan utang di tengah kerasnya tekanan hidup di Jakarta.

Mereka harus membayar sewa kontrakan, listrik, air, cicilan, makan sehari-hari, hingga membantu keluarga di kampung,

Tidak adanya kerangka hukum untuk melindungi PRT kerap disebut sebagai akar masalah. Mereka tidak dianggap sebagai pekerja formal, sehingga berada dalam ruang gelap yang menimbulkan apa yang disebut pengamat ketenagakerjaan sebagai `perbudakan modern`.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengaku belum menerima laporan pemecatan sepihak para PRT di tengah wabah virus corona, dan meminta para pekerja itu untuk melapor agar pemerintah bisa hadir memberikan fasilitas kepada mereka.

Sementara itu, DPR menyebut telah memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang mangkrak 15 tahun ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas, dan diharapkan akan segera disahkan pada akhir masa sidang ketiga.

Beberapa PRT berbagi kisah mereka, bagaimana pengalaman mereka dipecat sepihak, dan berjuang bertahan hidup di kerasnya Jakarta tanpa ada pekerjaan.

Merry: Kerja enam tahun, di-PHK sepihak lewat WhatsApp

Merry, bukan nama sebenarnya, telah bekerja sebagai pengasuh anak selama enam tahun di salah satu keluarga selebriti Indonesia.

Asam manis perlakuan keluarga itu ia terima dengan ikhlas, walaupun ia bekerja tanpa adanya kontrak kerja. Namun, akibat pandemi virus corona, ia dipecat sepihak hanya melalui WhatsApp.

Merry hanya mendapat upah delapan hari kerja dan tiga hari lembur di bulan Maret, tanpa THR atau pesangon.

"Saya berkorban dan kerja susah payah. Sampai ke rumah mereka jam setengah 7 pagi, pulang jam 8-9 malam. Saya memberikan hati saya, dan sayang dengan anak mereka. Tapi langsung dilupakan begitu saja, terus diblokir WA saya. Sedih banget.

"Seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan banget. Kami perantau, butuh makan, bayar sewa kontrakan, biaya anak. Tapi diperlakukan seperti ini," katanya.

Sri Herni: Pemasukan nol, utang jutaan rupiah

Sri Herni diberhentikan dari pekerjannya pada Maret lalu sebagai pengasuh anak di keluarga warga negara asing yang pulang ke negaranya, akibat wabah virus corona.

Sudah tiga bulan ia menganggur. Dua bulan lebih ia habiskan untuk tinggal di kampung, dan baru sepuluh hari kembali ke Jakarta.

Sri Herni yang telah berpisah dengan suami belasan tahun lalu, kini tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.

Tiap bulan, ia harus membayar sewa rumah Rp700 ribu per bulan, dan mengirim uang ke kampung untuk anak dan orang tuanya sebesar Rp2-3 juta per bulan. Di tabungannya, kini hanya tersisa Rp70 ribu.

"Saya sedih, tapi saya harus kuat menghadapi kehidupan ini. Saya hanya pasrah dan berdoa untuk menghadapi kehidupan saya dan teman-teman saya yang banyak di-PHK dengan adanya wabah corona ini. Virus belum berakhir, jadi belum ada pekerjaan," kata Sri Herni diiringi tangis.

Ponitiara: Menyambung hidup dari bantuan lingkungan rumah

Sebelum wabah virus corona menghantam Indonesia, Ponitiara masih bisa bekerja sebagai PRT di dua tempat, dengan pendapatan lebih dari Rp4 juta per bulan.

"Kunci rumahnya diminta, saya dikasih gaji bulan itu, terus mereka bilang terima kasih. Sudah begitu saja. THR, pesangon dan lainnya tidak ada," kata Ponitiara.

Kini sudah tiga bulan dia tidak bekerja. Sudah lima kali wawancara kerja dan tidak ada kejelasan.

"Setiap hari tiduran, nonton TV, mengobrol dengan tetangga, begitu saja setiap hari," katanya.

Kini ia beserta satu anaknya bertahan hidup dari bantuan RT, RW, dan perkantoran di lingkungan tempat tinggal. "Mau coba jualan tapi tidak punya kendaraan, transportasi umum juga terbatas," tambahnya.

"Saya selalu berdoa semoga Covid berakhir dan semua bisa beraktivitas seperti semula," harapnya.

Ibu empat anak tanpa suami, Yuni: `Utang saya sudah Rp2 juta`

Yuni Sri Rahayu kini masih dapat bekerja sebagai PRT dengan upah Rp1,5 juta per bulan. Sebelumnya, ia bisa mendapatkan sekitar Rp4,4 juta per bulan yang berasal dari dua tempat kerja.

Namun, pendapatan sekarang tidak cukup, karena Sri harus membayar semua kebutuhan empat orang anaknya seorang diri tanpa suami. Ia pun kini berjualan untuk menyambung hidup.

Mulai dari bayar kontrakan Rp1,2 juta per bulan, biaya sekolah anak di swasta Rp330 ribu, biaya makan sehari-hari sebesar Rp50 ribu, cicilan motor hampir Rp900 ribu dan cicilan telepon genggam Rp300 ribu.

Ia pun kini telah memiliki utang ke teman mencapai Rp2 juta, dan akan terpaksa kembali berutang karena penghasilannya tidak cukup.

Baca lanjutannya: Kisah-kisah Tragis PRT di Tengah Corona: Dipecat Tanpa Pesangon, Kehabisan Uang, Bingung Bayar Tagihan, hingga Terlilit Utang (Bagian 2)

Related

News 6591345053958206781

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item