Mengapa Ada Orang yang Menjadi Psikopat? Ini Penjelasan Ilmuwan

Mengapa Ada Orang yang Menjadi Psikopat? Ini Penjelasan Ilmuwan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Psikopat adalah penyakit kejiwaan yang dicirikan oleh tindakan yang bersifat egosentris dan antisosial.

Konsep psikopat saat ini berasal dari Dr. Hervey Cleckley (1947), dalam bukunya “The Mask of Sanity”, yang menggambarkan pola kepribadian dengan tingkat empati dan rasa bersalah yang rendah, kesombongan, daya tarik palsu, dan tidak punya rasa tanggung jawab yang menghasilkan perilaku yang merugikan masyarakat. 

Psikopat sulit dikenali. Sehari-hari, mereka beraktivitas normal, berpendidikan, dan memiliki pekerjaan yang baik. Mereka memiliki kemampuan manipulasi yang baik karena beranggapan pikiran kejamnya tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Tidak semua psikopat berakhir di berita pembunuhan dan tindakan kriminal. Sekitar 1% dari populasi orang dewasa tergolong psikopat. Artinya, bisa jadi ada satu orang dari setiap 100 orang kenalan Anda yang tergolong psikopat.

Orang normal selalu memandang yang dilakukan psikopat sebagai “tak punya otak” atau “sudah rusak otaknya.” Kenyataannya, otak orang normal dan otak psikopat memang berbeda. 

Ahli neurosains mengungkapkan bahwa otak seorang psikopat mengalami kerusakan di area prefrontal cortex dan amygdala. Area ini banyak mengatur fungsi empati, rasa takut, dan faktor-faktor lain yang terkait kepribadian.

Kerusakan otak membuat reaksi tubuh yang berbeda pula, misalnya ketika menonton film horror. Reaksi normal yang dialami adalah jantung berdegup dengan kencang, tangan berkeringat, dan napas tertahan. Namun, pada psikopat, bagian otak yang tidak teraktivasi membuat reaksinya lebih tenang dan tanpa ketakutan. 

Efek kerusakan yang dialami psikopat memiliki efek yang hampir sama seperti mereka yang kecelakaan di bagian kepala depan.

Phineas Gage (1848), pekerja rel kereta api, mengalami kecelakaan kerja yang parah, di mana sebilah tombak menembus kepalanya, dan merusak area prefrontal cortex. Gage dilaporkan selamat, namun kerusakan otak yang dialaminya membuat ia menjadi pribadi yang benar-benar berbeda, sampai orang-orang merasa bahwa ia “no longer Gage.”

Gage berubah dari orang yang baik, ramah, sopan, dan mudah bekerja sama, menjadi orang yang kasar, marah, dan sulit berempati. 

Apa penyebab kerusakan otak pada psikopat? 

Yang pertama faktor genetik atau diturunkan dari orang tuanya. Penelitian Waller dkk (2016) pada 561 anak adopsi menunjukkan bahwa adanya faktor bakat psikopat yang diturunkan secara genetik melalui ibu dengan temperamen yang sama.

Penelitian lain, yang dilakukan Kings College London, menunjukkan bahwa prediksi sifat bawaan tersebut sudah dapat terlihat sejak bayi berusia 5 bulan. Pada penelitian tersebut, bayi yang di kemudian hari menunjukkan ciri-ciri indikasi psikopat lebih memilih bola merah dibandingkan wajah orang, ketika dihadapkan pada keduanya. 

Faktor selanjutnya yang paling menentukan adalah pola asuh dalam keluarga. Masih dalam penelitian Waller dkk (2016), anak-anak yang menunjukkan sifat bawaan psikopat pada masa perkembangannya, tidak semua berkembang menjadi seorang psikopat. Waller menunjukkan bahwa pola asuh yang positif berhasil secara signifikan menurunkan masalah perilaku di kemudian hari. 

Psikopat sesungguhnya bersumber dari kesedihan dan rasa marah atas besarnya keinginan untuk dicintai dan dipedulikan. Profil psikopat hampir selalu ditemukan pada keluarga yang bermasalah, seperti bercerai, melakukan kekerasan fisik, seksual, maupun psikologis, pola disiplin yang berubah-ubah dan penuh ancaman, serta keluarga yang abai dan tanpa pengawasan.

Inti dari pola asuh dalam kecenderungan psikopat adalah kurangnya kehangatan dan interaksi orang tua dan anak. 

Kondisi rumah yang pelik semakin diperkeruh oleh lingkungan sekitar yang kurang mendukung. Kondisi masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke bawah adalah wadah yang subur dalam menumbuhkan jiwa psikopat. Sikap abai dari para tetangga dan tekanan hidup yang menyulut keseharian yang keras, semakin mengasah bagian otak reptil manusia.

Tuvblad dkk dalam penelitiannya menyimpulkan faktor lingkungan, termasuk gaya pengasuhan dan lingkungan bertetangga, menyumbang faktor dua kali lipat dibandingkan faktor genetik bawaan.

Related

Science 518969706266037999

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item