Menurut WHO, Indonesia Belum Bisa Relaksasi PSBB karena Kasus Corona Masih Tinggi

Menurut WHO, Indonesia Belum Bisa Relaksasi PSBB karena Kasus Corona Masih Tinggi, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Penyebaran COVID-19 di Indonesia masih merajalela. Pada 21 Mei lalu, penambahan kasus harian bahkan mencatatkan angka tertinggi, yakni 973 kasus. Sehari kemudian, per 22 Mei 2020, sudah ada 20.796 orang positif terinfeksi virus yang menyerang saluran pernapasan ini. 5.057 di antaranya sembuh dan 1.326 lain meninggal dunia.

Di tengah kurva yang belum menunjukkan tanda-tanda melandai ini, Presiden Joko Widodo justru mengajak masyarakat untuk mulai berdamai dengan Corona.

"Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan." kata Jokowi di Istana Merdeka.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, pun mendorong masyarakat untuk kembali hidup normal dengan memperhatikan protokol kesehatan—alias kehidupan "new normal". Doni merujuk pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut Corona tidak akan hilang.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan telah menyusun skema pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun dia mengingatkan pelonggaran itu baru dilakukan jika kondisi pengendalian penyakit sudah memungkinkan. Selama itu belum terjadi, maka warga masih terikat pada ketentuan PSBB yang sekarang.

WHO sebelumnya telah menetapkan sejumlah prasyarat sebelum sebuah negara melakukan pelonggaran pembatasan sosial. Pertama, penyebaran SARS-CoV-2 harus sudah dapat dikendalikan, dan fasilitas kesehatan dapat menangani jumlah kasus positif.

Kedua, sistem kesehatan negara tersebut mampu melakukan deteksi, tes, isolasi, merawat setiap kasus, dan pelacakan setiap kontak pasien positif.

Ketiga, risiko penularan kasus di tempat rentan atau 'hotspot', seperti panti jompo, sudah bisa diminimalisasi.

Keempat, sekolah, perkantoran, sudah menerapkan upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

Kelima, risiko klaster baru dari kasus-kasus impor sudah dapat diprediksi dan terjamin dapat dikelola, sehingga tidak menimbulkan lonjakan kasus baru di kemudian hari.

Keenam, masyarakat sudah teredukasi dan terinformasi dengan baik akan bahaya pandemi COVID-19, dan sepenuhnya terjamin oleh jaring pengaman sosial untuk beradaptasi dengan pola hidup 'new normal'.

Indikator-indikator inilah yang belum tampak di Indonesia. Kapasitas fasilitas kesehatan, misalnya, masih rendah. Berdasarkan data rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk di setiap negara dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) per 5 April 2020, Indonesia menempati peringkat 41 dari 42 negara. Rasio ketersediaan ranjang per 1.000 penduduk Indonesia sebesar 1.

Peringkat ini hanya lebih baik dari India yang menempati posisi buntut dengan rasio 0,5. Pun dengan kemampuan uji pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik COVID-19—disebut uji PCR (polymerase chain reaction).

Hingga 4 Mei 2020, pemerintah telah melakukan uji PCR terhadap 86.061 orang dengan 74.474 hasil negatif. Angka tersebut meningkat sebanyak 3.144 dibandingkan hari sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini, tes yang telah dilakukan masih tampak kecil meski menunjukkan tren yang meningkat.

Worldometer mencatat Indonesia masih ketinggalan dari Vietnam hingga Malaysia. Vietnam adalah negara ASEAN dengan jumlah tes terbanyak saat ini. Hingga 29 April, mereka telah melakukan tes terhadap 261.004 orang. Jika dirasio, tes telah dilakukan terhadap 2.681 orang per 1 juta penduduk. Vietnam saat ini dianggap sebagai salah satu negara yang sukses berperang melawan COVID-19.

Kondisi di Indonesia diperparah dengan tidak disiplinnya masyarakat. Kerumunan masih banyak dijumpai di banyak tempat, termasuk pusat perbelanjaan terutama jelang hari raya beberapa hari terakhir. Pun masih banyak yang mudik. Ringkasnya, Indonesia setidaknya belum memenuhi tiga prasyarat yang dianjurkan WHO untuk melonggarkan PSBB.

"Jadi kalau dilihat dari sisi sains, belum tepat waktunya," simpul peneliti dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Mouhammad Bigwanto.

Bigwanto menerangkan, pembatasan sosial mestinya cukup berlangsung selama 14 hari sesuai dengan masa inkubasi COVID-19. Selama masa itu, pemerintah melakukan tes massal dan tracing guna melacak kasus, dan mereka yang positif atau terindikasi positif langsung dikarantina.

Walhasil, dalam dua pekan, jika sebelumnya satu kasus menghasilkan lebih dari satu kasus baru (angka reproduksi > 1), kini satu orang cuma menularkan pada satu orang lain, bahkan kurang dari itu (angka reproduksi <1) sehingga kurva akan menurun.

Masalahnya, karena sejak awal penerapan PSBB tidak ketat dan tes tak maksimal, wabah masih tak terkendali hingga saat ini. "Mau tambah dua minggu dan dua minggu lagi juga enggak akan habis," katanya menegaskan.

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

News 1528044051856862119

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item