Nasib Pekerja di Tengah Wabah Corona: Dirumahkan, Tak Ada Pesangon (Bagian 2)

Nasib Pekerja di Tengah Wabah Corona: Dirumahkan, Tak Ada Pesangon, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Nasib Pekerja di Tengah Wabah Corona: Dirumahkan, Tak Ada Pesangon - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pemerintah sudah berusaha membaca tren PHK yang akan meroket karena pandemi COVID-19. Pada 16 Maret lalu, saat mengumumkan kebijakan work from home (WFH), Presiden Joko Widodo juga tegas menginstruksikan pada pengusaha untuk jangan sampai ada PHK.

“Beri tahu pada perusahaan-perusahaan agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja,” katanya.

Namun, gelombang itu tak terelakkan. Berdasarkan Organisasi Buruh Dunia (ILO), sekira 2,7 miliar pekerja di seluruh dunia terdampak efek ekonomi pandemi COVID-19. Bentuknya, mulai dari pengurangan jam kerja, dirumahkan, cuti tanpa gaji, hingga PHK.

Ada empat sektor terdampak paling buruk menurut ILO: perdagangan ritel dan grosir, manufaktur, real estate, serta transportasi dan restoran. Tercatat sekira 1,25 miliar pekerja di sektor-sektor tersebut yang terdampak atau setara 38 persen dari total tenaga kerja global.

Menurut ILO, krisis ini merupakan yang paling parah sejak Perang Dunia II, karena angka kehilangan pekerjaan bertambah pesat dan diprediksi akan terus bertambah.

Namun, menurut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, angka 150.000-an PHK yang telah terjadi selama pandemi Covid-19 diklaim masih cukup baik karena jumlah pekerja yang dirumahkan tanpa penetapan PHK masih lebih banyak.

“Kalau kita lihat data dari 1,5 juta orang itu, 10 persennya di-PHK. Sembilan persennya itu dirumahkan,” kata Ida dalam siaran live di akun Youtube Kemenko Perekonomian.

Ida menyatakan hal ini menunjukkan pengusaha masih berupaya mempertahankan karyawannya. Ia bilang opsi PHK memang tidak terhindarkan dalam kondisi ini, tetapi trennya menunjukan pilihan itu masih di tahap akhir. Sebagai antisipasi ke depan, Ida bakal terus membicarakan hal ini dengan para pengusaha.

Ia bilang masih banyak langkah alternatif yang bisa ditempuh alih-alih PHK. Ida mencontohkan opsi itu terdiri dari mengurangi upah dan fasilitas tingkat atas, membatasi atau menghapuskan jam lembur, mengurangi jam kerja, pembatasan hari kerja, meliburkan atau merumahkan buruh secara bergilir.

“Ini yang banyak diambil teman-teman pengusaha,” ucap Ida.

Ida juga mendorong pengusaha untuk selalu membicarakan terlebih dahulu dengan serikat pekerja sebelum mengambil keputusan yang menentukan nasib buruh. Ia bilang, jika perusahaan itu tidak memiliki serikat, maka ada kewajiban untuk mengajak bicara pekerjanya langsung.

“Dalam kondisi sulit ini, pentingnya membangun hubungan baik dari pekerja dan teman-teman pengusaha. Sekali lagi teman-teman pengusaha juga tidak ingin kondisi ini. Semua tidak ingin ini terjadi,” tambah Ida.

Kenyataannya situasi yang dianggap Menteri Ida “masih cukup baik” sama sekali tidak demikian buat mereka yang “dirumahkan” seperti Esmeralda. Ia tengah pusing menghitung-hitung kesempatan dan kemampuannya untuk melanjutkan hidup. Buat Esmeralda, keadaan harusnya lebih terang kalau statusnya di kantor itu jelas di-PHK.

“Aku jadi jelas untuk nuntut hak sesuai undang-undang, kan. Uangnya lumayan bisa dipakai buat nentuin langkah ke depan, tapi ya mereka juga udah ada omongan kalau enggak akan bisa bayar pesangon penuh, jadi bingung,” katanya.

Opsi “dirumahkan” dari perusahaan cuma bikin statusnya tak jelas dan pusing menentukan arah. Jika melamar ke perusahaan lain, Esmeralda merasa haknya sebagai karyawan di kantor itu dikangkangi.

Hambali dari Sindikasi—Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi—mencatat setidaknya ada enam contoh pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan pada pekerjanya di masa pandemi ini. Situasi yang dihadapi Esmeralda adalah salah satunya: ketika perusahaan memilih merumahkan karyawan tanpa dibayar dengan alasan keuangan perusahaan terganggu.

“Padahal uang perusahaan pasti ada untuk membayarkan hak-hak PHK karyawannya, tapi lebih memilih mengalokasikan untuk kepentingan yang lain. Di sini berarti ada hak karyawan yang dilanggar sesuai dengan UU ketenagakerjaan,” kata Hambali.

Lima bentuk pelanggaran lainnya: perusahaan melakukan PHK dengan alasan pandemi, tapi tidak membayarkan hak pesangon; pemotongan gaji sepihak tanpa ada perundingan; karyawan diminta masuk ke kantor tanpa perlindungan yang cukup; karyawan diminta masuk ke kantor, tapi gaji dipotong; dan yang terakhir karyawan dipersilakan kerja dari rumah (WFH) tapi dihitung cuti.

Baca lanjutannya: Nasib Pekerja di Tengah Wabah Corona: Dirumahkan, Tak Ada Pesangon (Bagian 3)

Related

News 5953761324812055384

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item