Bagaimana Gojek dan Grab Tumbuh Pesat, Lalu Goyah Dihantam Corona (Bagian 1)

Bagaimana Gojek dan Grab Tumbuh Pesat, Lalu Goyah Dihantam Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Menjelang Ramadan 2015, Gojek meluncurkan program “Ceban Menjelang Ramadhan”. Melalui program itu, pengguna Gojek dapat diantarkan ke tujuannya masing-masing—tak lebih dari 25 kilometer—hanya dengan ongkos Rp10 ribu.

Strategi promosi tersebut sukses. Nadiem Makarim, pendiri Gojek yang saat ini menjabat Menteri Pendidikan RI, menyebut promo itu sukses besar, dan “Gojek meledak menjadi layanan aplikasi No.1 di Jakarta.”

Di awal kemunculan, layanan ojek online dari Gojek mematok tarif Rp4.000 per kilometer, sementara Grab membanderol tarif Rp3.000 per kilometer. Lambat laun, tarif berubah-ubah. Gojek misalnya, menjadi Rp2.200 di bulan Juni 2018.

Semenjak Maret 2020, melalui peraturan pemerintah, batas bawah per kilometer layanan ojek online, entah Gojek ataupun Grab, bernilai Rp2.250 per kilometer dan batas atas Rp2.650 per kilometer.

Tentu, melalui strategi “bakar uang” yang dilakukan Gojek dan Grab (seperti yang diterjemahkan dalam program “Ceban Menjelang Ramadhan”) pengguna masing-masing layanan membayar di bawah harga sebenarnya, alias murah alias di kemudian hari para pengguna ojek online harus “membayar”.

Gojek dan Grab, singkat kata, menjadi sangat menyatu dengan masyarakat. Pada 2019, merujuk rilis yang dikeluarkan Gojek, para pengemudi Gojek secara keseluruhan telah menempuh perjalanan sejauh 5 juta kilometer.

Mengkomparasikan dengan hasil riset Kementerian Perhubungan yang menyebut jarak rata-rata sekali perjalanan ojek online adalah 8,8 kilometer, artinya ada lebih dari 560 ribu trip di tahun 2019 yang dilakukan Gojek. Pada awal 2019 silam, Grab mengklaim bahwa layanan antar mereka (ojek dan taksi online) telah menempuh 3 miliar perjalanan.

Hasil gemilang itu jelas terjadi sebelum pandemi COVID-19. Ketika SARS-CoV-2, virus di balik Corona muncul, segalanya berubah. Alasannya sederhana. Dengan belum ditemukannya vaksin atau obat penyembuh Corona, satu-satunya yang dapat dilakukan umat manusia adalah menjaga jarak dengan manusia lainnya, melalui physical/social distancing.

Masalahnya, tentu saja, layanan-layanan Gojek dan Grab adalah layanan berbasis kontak fisik dengan pelanggannya. Maka, ketika Corona mewabah, bisnis Gojek dan Grab amburadul, khususnya ketika pemerintah memberlakukan lockdown—atau di Indonesia diterjemahkan dalam PSBB.

Koya Jibiki, dalam laporannya untuk Nikkei Asian Review, menyatakan bahwa jumlah pemesanan layanan ojek/taksi online Grab turun hingga 24 persen per 26 Maret silam. Sementara Gojek turun 11 persen.

Layanan Gojek dan Grab tentu bukan hanya ojek/taksi online, tetapi juga pemesanan makanan, pengantaran barang, dan dompet digital. Masalahnya, layanan-layanan non-ojek/taksi online itu sangat berhubungan erat dengan layanan ojek/taksi online.

Laporan Katadata, misalnya, menyebut total transaksi GoPay telah menembus angka Rp89,5 triliun per Februari 2019. Dan dari angka transaksi itu, 70 persennya digunakan untuk membayar layanan-layanan yang termaktub dalam aplikasi Gojek, khususnya GoRide dan GoFood.

Sederhana saja, di Indonesia Gojek memiliki 29,2 juta pengguna aktif bulanan. Jika tiap penggunanya memiliki sisa saldo GoPay sebesar Rp1.000 saja, Gojek kehilangan saldo mengendap sebesar Rp29,2 miliar. Saldo yang jika dibiarkan saja di bank akan menghasilkan Rp146 juta per bulan, merujuk suku bunga simpanan bank BCA. Uang itu hilang karena Corona.

Baca lanjutannya: Bagaimana Gojek dan Grab Tumbuh Pesat, Lalu Goyah Dihantam Corona (Bagian 2)

Related

Corona 8170799568177083384

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item