Banjir, Naiknya Air Laut, dan Masalah Penurunan Muka Tanah Jakarta (Bagian 1)

Banjir, Naiknya Air Laut, dan Masalah Penurunan Muka Tanah Jakarta naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Air perlahan masuk ke rumah Setyo Wiharto di Cilincing, Jakarta Utara. Hujan deras dan air laut pasang bikin rumahnya terendam setinggi pinggang. Saat itu Setyo berusia 20 tahun; ia tinggal bersama orangtuanya. Tinggal di pesisir utara Jakarta membuat mereka terbiasa kebanjiran, sekalipun hanya karena air laut pasang.

Setyo dan orangtuanya sudah tinggal di sana turun-temurun. Sependek ingatan Setyo, medio 2000-an adalah masa ia semakin sering mengalami banjir.

Tiap kebanjiran, mereka tak pernah mengungsi, biasanya hanya duduk di atas meja sampai banjir reda, rutin gonta-ganti perabotan terutama lemari, meja, dan perkakas kayu murah lain.

Pada Mei tahun yang sama, banjir rob kembali menerjang Jakarta Utara selama tiga hari, tak cuma merendam rumah-rumah warga, tapi juga melumpuhkan kegiatan sekolah, salah satunya SMPN 261 Pluit di Kecamatan Penjaringan, sehingga harus menunda ujian akhir para siswa.

Tahun itu, 599 rukun warga di Jakarta terendam banjir; sekitar 60 persen wilayah Jakarta lumpuh. Di beberapa titik, ketinggian air mencapai 5 meter. Ada keluarga-keluarga yang kehilangan rumah.

Pada Mei 2016, Hiroshi Takagi dari Tokyo Institute of Technology membuat survei tentang kerusakan banjir yang dialami warga Pluit. Seperti apa hasilnya?

Penurunan muka tanah menjadi salah satu penyebab banjir rob semakin parah. Selama tiga tahun saja (2007-2009), tanah permukiman di pesisir utara Jakarta turun 9,5-21,5 cm per tahun. Ia membuat daratan semakin rendah, sehingga air laut pasang sedikit saja akan menggenangi rumah-rumah. Ketika bersamaan dengan hujan deras, seketika banjir.

Mengapa permukaan tanah bisa turun? 

Penelitian Heri Andreas, dosen dan peneliti dari institut Teknologi Bandung, menyebut ada tiga penyebab penurunan muka tanah Jakarta. Sedimen tanah di pesisir utara Jawa, termasuk Jakarta, tergolong muda. Jadi, secara alami, tanahnya akan turun. Selain itu, ada faktor beban bangunan.

Namun, untuk kasus Jakarta, faktor penyebab paling besar adalah pengambilan air tanah dalam skala besar-besaran dan meluas. Ia membuktikan argumentasi ini dengan membandingkan angka penurunan tanah dengan penurunan muka air tanah. Hasilnya, semakin besar muka air tanah turun, semakin besar pula tanahnya turun.

Jadi, langkah yang menurut Heri harus diambil oleh pemerintah DKI Jakarta adalah menyediakan opsi sumber air selain air tanah. Caranya? Bisa dengan membersihkan sungai, membuat waduk, atau mengubah air laut jadi tawar.

“Ada banyak cara, tinggal dilihat mana yang paling ekonomis,” katanya.

Dari data yang dia kumpulkan, Bangkok 10 tahun lalu mengalami penurunan tanah yang serupa dengan Jakarta. Penyebabnya juga sama: eksploitasi air tanah. Saat ini, penurunan tanah di Bangkok sudah hampir berhenti, sebab pemerintahnya fokus pada manajemen air, menyediakan sumber-sumber air lain.

Di Jakarta, selain penanganan lamban, fokusnya adalah membangun tanggul raksasa di pesisir utara. Heri sudah melakukan riset sejak 1997 dan menyampaikan hasil risetnya 20 tahun lalu, tapi tak digubris karena dianggap masih terlalu dini.

Pada 2007, ketika anomali laut pasang dan krisis iklim semakin runyam, air laut naik ekstrem. Banjir rob menerjang Jakarta Utara, merendam rumah-rumah, termasuk rumah Setyo Wiharto di Cilincing.

Saat itu, mulai ada perhatian dan tindakan serius dari pemerintah Jakarta. Tapi, solusinya justru membangun tanggul laut raksasa sepanjang 35 km yang diproyeksikan rampung 2025—disebut proyek Great Garuda.

Dari perspektif Heri, pembangunan tanggul sah-sah saja sebagai solusi jangka pendek. Ia mengibaratkan tanggul laut seperti obat anti nyeri, hanya meredakan sesaat tapi gagal menyembuhkan penyakit utama. Tanggul itu tak akan bisa mengobati pengambilan air tanah, persoalan mendasar di Jakarta.

Hiroshi Takagi dari Tokyo Institute of Technology, juga menyimpulkan bahwa pembuatan tanggul tak cukup untuk mengatasi banjir rob di Jakarta. Tanpa ada usaha menghentikan penurunan muka tanah, pembangunan tanggul laut raksasa yang diprediksi berbiaya Rp500 triliun akan sia-sia belaka.

Menurutnya, tanggul yang cukup tinggi memang akan menghalangi air laut membanjiri daratan. Namun, seiring tanah yang terus turun, tanggul tak lagi efektif. Tanggul setinggi tiga meter misalnya, ia prediksi tak lagi berguna untuk menangkal air laut pada 2040.

Bagaimana Pemprov DKI mengatasinya? 

Pada 1991, Gubernur Jakarta saat itu, Wiyogo Atmodarminto, mengeluarkan surat keputusan mengenai bangunan di Jakarta. Salah satu isinya mewajibkan semua bangunan di Jakarta punya sumur resapan.

Niatnya, sumur resapan bisa menampung air hujan sehingga tak mengalir ke luar pekarangan. Itu diyakini jadi satu langkah penting menjaga kualitas air tanah, sehingga tak terjadi penurunan muka tanah.

Baca lanjutannya: Banjir, Naiknya Air Laut, dan Masalah Penurunan Muka Tanah Jakarta (Bagian 2)

Related

News 182532169651102972

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item