Banjir, Naiknya Air Laut, dan Masalah Penurunan Muka Tanah Jakarta (Bagian 2)

 Banjir, Naiknya Air Laut, dan Masalah Penurunan Muka Tanah Jakarta, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Banjir, Naiknya Air Laut, dan Masalah Penurunan Muka Tanah Jakarta - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Aturan sumur resapan itu masih berlaku sampai sekarang. Bahkan ada peraturan gubernur baru yang mengikatnya lebih detail. Apakah dipatuhi? Tidak juga. Pada 2018, Gubernur Jakarta Anies Baswedan melakukan inspeksi mendadak terhadap 80 gedung di Kawasan Sudirman-Thamrin. Hasilnya, hanya separuh yang punya sumur resapan.

Lebih parah lagi, dari 40 gedung yang punya sumur resapan, cuma satu gedung yang seluruh fasilitas sesuai Pergub No. 20/2013 tentang air tanah. Padahal, pada 2005, Gubernur Jakarta saat itu, Sutiyoso, sudah mengeluarkan peraturan khusus soal sumur resapan.

Jadi, menurut Pergub No. 68/2005, izin mendirikan bangunan baru bisa disahkan begitu ada sumur resapan. Sutiyoso memperketat pengambilan air tanah lewat peraturan tentang mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah. Aturan ini tak berlaku bagi warga yang mengambil air tanah untuk keperluan rumah tangga.

Pada era Fauzi Bowo, penerus Sutiyoso, pajak air tanah diperbesar. Tarif pajaknya tetap sama, 20 persen, hanya saja metode penghitungannya diubah. Mereka yang mengambil air tanah dan berada di wilayah yang dilayani perusahaan air minum, harus membayar lebih besar.

Pada Maret 2017, Pergub yang dikeluarkan Sutiyoso diperbarui oleh penjabat sementara, Sumarsono (saat itu Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, cuti dinas demi kampanye Pilkada Jakarta). Ini menjadi beleid terbaru yang mengatur mekanisme pemungutan pajak air tanah.

Aturan itu tak hanya berlaku bagi penyedotan dan pemanfaatan air tanah, tapi juga bagi proses dewatering—pengeringan area penggalian yang biasanya dimanfaatkan sebagai bangunan bawah tanah.

Pada 2011, sekitar 10 tahun setelah Heri Andreas menyampaikan hasil risetnya soal penurunan tanah Jakarta, barulah ada inisiatif untuk membangun fasilitas penjernihan air di di Jatiluhur, Purwakarta.

Dalam sebuah konferensi pers, Gubernur Jakarta saat itu, Fauzi Bowo, menjelaskan air dari hasil penjernihan di Jatiluhur akan dibawa melalui pipa menuju Jakarta. Fauzi Bowo membentuk tim terpadu pengawasan dan penertiban pengambil air tanah yang dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD).

Pada 2018, Anies Baswedan membentuk Tim Pengawasan Terpadu Penyediaan Sumur Resapan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah serta Pemanfaatan Air Tanah di Bangunan Gedung dan Perumahan. Tugas tim ini menyidak penggunaan air tanah.

Pertanyaannya, apakah semua rentetan aturan itu berhasil menjaga muka air tanah dan menghentikan penurunan muka tanah?

Dalam tesis berjudul “Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta” (2011), Bambang Siswanto menyimpulkan, setidaknya sampai 2011, belum ada kebijakan pemerintah Jakarta yang efektif mengurangi pemakaian air tanah.

Siswanto menyelesaikan tesisnya untuk program magister di Institut Pertanian Bogor. Menurut analisisnya, kenaikan pajak air tanah signifikan menurunkan pengambilan air tanah pada sumur-sumur yang terletak di dalam jangkauan pelayanan PAM Jakarta, tapi tidak efektif bagi sumur-sumur di luar area pelayanan PAM.

Perbedaan harga relatif besar antara memakai air tanah dan air PAM menyebabkan rumah tangga dan industri memilih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhannya. Selain lebih murah, juga tak harus bergantung pada pihak ketiga sehingga ketersediaan air lebih terjamin.

Sembilan tahun setelah tesis Siswanto selesai, apakah ada kebijakan baru yang efektif?

Kepala Bappeda DKI Jakarta, Nasruddin Djoko Surjono, merinci beberapa kegiatan yang saat ini dijalankan Pemprov DKI bersama pemerintah pusat untuk mengendalikan penurunan muka tanah.

Selain tanggul laut raksasa, Nasruddin menyebut telah meningkatkan layanan air bersih di Jakarta utara lewat Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Jatiluhur, SPAM Karian, SPAM Hutan Kota, SPAM Waduk Daan Mogot, dan Kios Air.

Langkah lain adalah meningkatkan layanan air limbah, baik melalui pembangunan jaringan perpipaan, sistem pengelolaan air limbah domestik, maupun revitalisasi tangki septik untuk meningkatkan kualitas badan air di DKI Jakarta.

“Hingga 2019, Pemerintah Jakarta telah membangun tanggul pantai dan muara sungai sepanjang lebih dari 12 km. Selanjutnya, pada 2020, merencanakan pembangunan tanggul pantai sepanjang 600 meter di beberapa lokasi pesisir Jakarta,” jelasnya.

Peneliti Heri Andreas berkata, saat ini memang mulai ada perhatian dari pemerintah untuk setidaknya mencari solusi agar warga Jakarta berhenti mengeksploitasi air tanah. Namun, menurutnya, terlalu lamban.

Dua puluh tahun sudah berlalu sejak ia pertama kali menyampaikan hasil risetnya. Selama dua puluh tahun itu pula, grafik penurunan tanah di Jakarta belum melandai. Penurunan tanah di Jakarta bukan saja belum berhenti tapi bahkan lebih parah. Ia meluas ke wilayah barat, timur, dan selatan Jakarta.

Di Lebak Bulus, selatan Jakarta, misalnya, sepanjang 2015-2018, tanahnya turun rata-rata 7,4 cm per tahun. “Kalau melihat kondisi Jakarta yang sekarang, kira-kira butuh berapa lama lagi penurunan tanah bisa mulai berhenti?”

“Kalau benar-benar memikirkan water management, ya mungkin butuh sepuluh tahun lagi,” jawab Heri.

Related

News 5675564696231178409

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item