Kisah Pandemi Flu Spanyol: Wabah Gelombang Dua Lebih Mematikan (Bagian 2)

Kisah Pandemi Flu Spanyol: Wabah Gelombang Dua Lebih Mematikan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Pandemi Flu Spanyol: Wabah Gelombang Dua Lebih Mematikan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Gejala flu Spanyol juga terlihat lebih ganas daripada flu biasa. Sejarawan John M. Barry, berdasarkan catatan seorang dokter AS bernama Roy Grist, menyebut gejala flu Spanyol mulanya tak ada beda dari flu biasa. Namun hanya dalam beberapa jam saja seseorang yang terinfeksi mengalami pneumonia. Beberapa jam kemudian pasien mulai menunjukkan gejala sinosis karena kekurangan oksigen.

“Virus penyebab pandemi 1918 selain menginfeksi sel-sel saluran pernapasan bagian atas, juga menyusup hingga paru-paru, merusak jaringan dan sering menyebabkan pneumonia,” tulis Barry dalam artikelnya di Smithsonian Magazine.

Mengapa gelombang kedua pandemi flu Spanyol bisa lebih berbahaya dari yang pertama?

Jawaban langsung dan terang adalah belum memadainya sains medis saat pandemi terjadi. Di masa itu belum ada mikroskop dengan teknologi yang cukup untuk mengamati organisme sekecil virus. Pengembangan vaksin pun belum sehebat sekarang.

“Dan lagi, para profesional medis terkemuka pada 1918 masih meyakini bahwa flu disebabkan oleh bakteri yang dijuluki basil Pfeiffer,” tulis Roos.

Berkelindan dengan kondisi itu, virus flu Spanyol pun mengalami mutasi selama transmisi dari manusia ke manusia. Penyebab utama flu ini adalah virus influenza tipe A subtipe H1N1, varian influenza yang sama sekali baru saat itu. Kurangnya pemahaman atas virus ini dan gejala penyakit yang ditimbulkannya kemudian diperparah oleh obat yang salah.

Dokter di AS menganggap flu Spanyol tak jauh beda dengan flu musiman, sehingga mereka meresepkan aspirin sebagai obatnya. Saat itu, dosis aspirin yang disarankan biasanya adalah 30 gram per hari—dosis yang saat ini diketahui justru meracuni tubuh.

Tentang ini, laman History menulis, “Keracunan aspirin menyebabkan hiperventilasi dan edema paru, penumpukan cairan di paru-paru, dan sekarang diyakini bahwa banyak kematian pasien flu Spanyol sepanjang Oktober sebenarnya disebabkan atau dipercepat oleh keracunan aspirin itu.”

Di luar penjelasan medis tersebut, pergerakan tentara selama perang dan politik perang turut bertanggung jawab atas peningkatan kematian selama gelombang kedua pandemi.

Pada kasus AS, menyebarnya virus dari instalasi militer ke kota-kota yang berdekatan dengannya—bahkan hingga seberang lautan—jelas tidak bisa dilepaskan dari perpindahan tentara selama Perang Dunia I.

Kepentingan perang pula yang membuat beberapa negara enggan mengambil kebijakan karantina. Sebabnya jelas: karantina membuat produksi kebutuhan perang menurun. Di Inggris, seorang pejabat pemerintahan bernama Arthur Newsholme menolak menutup pabrik amunisi dan kebijakan karantina yang berisiko melemahkan posisi Inggris dalam perang.

AS setali tiga uang dengan Inggris. Penelitian Barry mengungkap bahwa pemerintah AS bahkan menerbitkan undang-undang khusus yang melarang orang “menghasut” pembatasan produksi kebutuhan perang selama pandemi. Para penghasut ini bahkan diancam hukuman penjara 20 tahun. Itu belum ditambah dengan kelakuan para pejabat publik yang meremehkan risiko flu Spanyol.

“Di seluruh negeri, pejabat publik berbohong. Surgeon General Rupert Blue mengatakan, ‘Tidak ada alasan untuk khawatir jika warga memperhatikan prosedur pencegahan’. Dinas Kesehatan Masyarakat New York City menyatakan bahwa mayoritas orang yang dilaporkan sakit influenza bukan ‘gara-gara virus flu Spanyol’ atau menderita ‘penyakit bronkial jenis lain’,” tulis Barry.

Dengan respons macam itu, tak heran AS pun terseok-seok mengatasi pandemi. Ketidaksigapan pemerintah AS merespons pandemi juga disebabkan terbatasnya jumlah tenaga medis. Para dokter dan perawat muda—di bawah umur 45—dikerahkan otoritas militer AS untuk kepentingan perang.

“Kekurangan perawatan yang parah karena ribuan perawat telah dikerahkan ke kamp-kamp militer dan garis depan. Kondisi makin runyam karena Palang Merah Amerika menolak menggunakan perawat Afrika-Amerika yang terlatih sampai pandemi terburuk berlalu,” tulis Ross.

Related

Science 7370194911794318045

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item