Mengapa Negara yang Dipimpin Wanita Lebih Berhasil Melawan Corona (Bagian 2)

 Mengapa Negara yang Dipimpin Wanita Lebih Berhasil Melawan Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Negara yang Dipimpin Wanita Lebih Berhasil Melawan Corona - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Respons terhadap krisis Covid-19 tentu sangat beragam, karena setiap negara punya realitas sosio-ekonomi dan ketersediaan sumber daya masing-masing, aspek-aspek yang mungkin tidak terkait dengan gender.

Karena itu, pemimpin pria yang tidak masuk stereotipe, seperti yang dijelaskan Prof Cambell, mendapati angka kematian yang relatif sedikit di negara mereka.

Di Korea Selatan, misalnya, penanganan Presiden Moon Jae-in dalam krisis Covid-19 berujung pada kemenangan partainya dalam pemilihan anggota parlemen, 15 April lalu.

Kemudian, PM Yunani, Kyriakos Mitsotakis, disanjung karena dinilai mampu meminimalisir jumlah kematian akibat Covid-19. Yunani mampu menghadapi wabah ini dengan memprioritaskan anjuran saintifik dan menempuh langkah menjaga jarak aman, sebelum kematian pertama tercatat.

Ada pula negara dengan pemimpin perempuan yang kewalahan menghadapi penyebaran virus corona.

Sebagai contoh, Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina. Walau dia telah berupaya menghambat penyebaran virus, ada kekhawatiran mengenai kapasitas pengujian di Bangladesh yang terbatas.

Kemudian masih ada masalah kekurangan alat pelindung diri (APD) yang membuat para tenaga kesehatan semakin terpapar risiko.

Keputusan-keputusan sulit

Guna menghentikan penyebaran Covid-19, para pemimpin harus membuat keputusan-keputusan sulit, seperti menghentikan perputaran roda ekonomi pada tahap awal pandemi.

Pilihan-pilihan tersebut mengandung biaya politik tinggi dalam jangka pendek, yang "berkebalikan dengan keinginan para pemimpin populis", kata Prof Campbell.

Di sisi lain, para pemimpin perempuan justru mampu memenangi opini publik dengan berbicara secara terbuka dan transparan mengenai tantangan yang dihadapi negara mereka.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, misalnya, dengan cepat mengakui Covid-19 adalah ancaman yang "sangat serius". Pemerintah Jerman pimpinan Merkel telah membentuk skema pengujian, pelacakan, dan pengisolasian terbesar di Eropa.

Di Norwegia dan Denmark, rangkaian pendekatan yang ditempuh perdana menteri perempuan mereka membuat kedua negara itu lebih mampu ketimbang pemimpin pria yang mengedepankan sikap `macho`.

Baik pemimpin Norwegia, Erna Solberg, serta pemimpin Denmark, Mette Frederiksen, menggelar konferensi pers khusus untuk anak-anak mengenai penanganan wabah virus corona. Orang dewasa dilarang masuk dalam konferensi pers tersebut.

PM Selandia Baru, Jacinda Ardern, juga berupaya menenangkan kekhawatiran anak-anak mengenai liburan Paskah. Ardern mengatakan kepada mereka bahwa Kelinci Paskah adalah "pekerja penting" sehingga diperbolehkan mengantarkan telur cokelat langsung ke rumah mereka.

Prof. Campbell mengatakan: "Berbicara mengenai Kelinci Paskah mungkin merupakan hal yang mengada-ada bagi pemimpin sebuah negara di masa lalu. Namun, keberadaan perempuan di dunia politik membuat kita lebih berpikir bagaimana politik mempengaruhi anak-anak."

Hal-hal itu amat mungkin dianggap "urusan privat" di masa lalu, sebagaimana halnya dengan kekerasan rumah tangga dan pengasuhan anak.

Dengan menyampaikan kerisauan anak-anak secara langsung, para pemimpin politik mengakui bahwa pandemi corona mempengaruhi kesehatan mental setiap kelompok usia, kata Campbell.

Keputusan-keputusan yang lebih baik

Sebanyak 70% tenaga kesehatan di dunia adalah perempuan, namun pada 2018 hanya 10 dari 153 kepala negara yang perempuan, menurut Interparliamentary Union. Hanya seperempat dari keseluruhan anggota parlemen di dunia yang perempuan.

Sebanyak 70% tenaga kesehatan di dunia adalah perempuan, namun keberadaan mereka pada posisi pemimpin negara masih jarang.

Dr Gupta, yang juga mengepalai dewan penasihat di WomenLift Health, program Yayasan Bill and Melinda Gates yang bertujuan meningkatkan jumlah pemimpin perempuan di sektor kesehatan, menyerukan lebih banyak perempuan ditempatkan sebagai pemimpin. Menurutnya, hal itu akan meningkatkan kualitas pembuatan kebijakan.

"Akan ada keputusan-keputusan yang ada relevansinya untuk semua segmen masyarakat, bukan hanya untuk beberapa. Karena sebagai perempuan, mereka (para pemimpin) telah mengalami hidup dalam peran dan tanggung jawab yang dibagi berdasarkan gender di masyarakat. Sehingga, perspektif dan keputusan mereka amat mungkin dipengaruhi pengalaman itu."

Dr Gupta mewanti-wanti dampak sosial dan ekonomi Covid-19 terhadap pria dan perempuan; kekerasan domestik meningkat, risiko kemiskinan meningkat, serta melebarnya jurang upah antara pria dan perempuan.

"Kita malah mundur," ujarnya. "Kecuali respons terhadap pandemi memperhitungkan hal-hal tersebut, masalah yang ada akan semakin parah."

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

News 162766141339047961

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item