Warga Kulit Hitam AS: Saya Lebih Takut Dibunuh Polisi daripada Mati Karena Corona (Bagian 1)

Warga Kulit Hitam AS: Saya Lebih Takut Dibunuh Polisi daripada Mati Karena Corona naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Anak-anak keluarga Simmons ikut keluar rumah melewati waktu tidur mereka. Frederick Simmons (11) dan adik perempuannya, Maliha (8), berjalan bersama orang tua mereka dan adik mereka, Nyla (2), ke jembatan Manhattan di Brooklyn, di mana para demonstran berunjuk rasa terkait pembunuhan George Floyd oleh anggota kepolisian Minneapolis.

Poster yang mereka bawa hampir setinggi badan mereka. Maliha menulis "polisi menyebalkan" di posternya. Para bersaudara ini memakai masker yang dipesan khusus ibunya, bergambar karakter dari film Trolls untuk Maliha, dan gambar bola kasti untuk Frederick.

Mereka berdiri sekitar 3 kaki dari garis polisi, dengan tersipu menjelaskan kenapa mereka ikut demo.

"Karena rasisme," kata Maliha, seperti dikutip dari TIME.

"Itu menakutkan. Tapi juga kamu harus membela diri sendiri," kata Frederick.

Nyla, duduk dalam gendongan ayahnya, membawa poster bertuliskan, "Tak ada Keadilan! Tak ada Perdamaian! Tak ada polisi rasis", yang besarnya tiga kali dari ukuran badannya.

Kemudian, beberapa saat, semua berubah. Tiba-tiba orang berlari menjauh dari polisi yang menyemprotkan cairan merica atau gas air mata. Orang-orang tak yakin antara keduanya dan keluarga Simmons sempat terpisah satu sama lain.

Keluarga ini berkumpul kembali setelahnya, dan anak-anak tersebut diberi instruksi baru: lain kali jika mereka harus lari, maka lari ke arah tembok dan jangan ke kerumunan, biar orang tua mereka bisa cepat menemukan mereka.

Saat itu, ibunya, Kenyatta Reid, menyampaikan, berefleksi seperti apa rasanya menjadi warga kulit hitam di Amerika.

"Anda pikir Anda aman dan segalanya baik-baik saja. Dan kemudian segalanya hancur lebur, dan Anda mendapat serangan," jelasnya.

Bagi banyak warga kulit hitam Amerika yang membanjiri jalanan di puluhan kota pekan ini, pembunuhan George Floyd adalah penghinaan terbaru dalam setahun yang ditandai dengan kematian dan keputusasaan yang semakin tak tertahankan.

Paling rentan terinfeksi Covid-19

Pandemi virus corona secara tidak proporsional memengaruhi orang Amerika-Afrika, yang lebih rentan terkena Covid-19 dan lebih rentan meninggal dibandingkan warga kulit putih; orang Afrika-Amerika hanya 12 persen dari populasi tetapi menyumbang lebih dari hampir 26 persen kasus Covid-19 dan hampir 23 persen kematian, menurut data CDC.

Satu penelitian menemukan, mayoritas negara Afrika menyumbang hampir setengah dari semua kasus virus corona dan lebih dari 60 persen kematian.

Dampak ekonomi dari virus dan upaya untuk melawannya juga telah mempengaruhi komunitas kulit hitam secara tidak proporsional: 44 persen warga kulit hitam Amerika mengatakan, seseorang dalam rumah tangga mereka telah kehilangan pekerjaan atau menerima pemotongan gaji karena pandemi, dan 73 persen mengatakan mereka tak memiliki dana darurat, berdasarkan survei Pew.

Sebagian besar "pekerja penting" yang mempertaruhkan hidup mereka untuk menjaga New York City tetap berjalan adalah orang-orang kulit berwarna, menurut Kantor Pengawas Keuangan.

Di luar semua itu, serangkaian pembunuhan orang-orang kulit hitam Amerika telah membuat ketidakadilan rasial yang meluas jadi makin parah: Ahmaud Arbery ditembak mati oleh para petugas keamanan kulit putih saat sedang jogging di Georgia; Breonna Taylor, seorang teknisi ruang gawat darurat, ditembak delapan kali di rumahnya di Kentucky ketika polisi mengeksekusi surat perintah tanpa peringatan di tengah malam; dan George Floyd, yang meninggal setelah seorang perwira polisi Minneapolis berlutut di lehernya selama lebih dari delapan menit.

"Apakah itu Covid-19 yang membunuh kami, polisi membunuh kami, ekonomi membunuh kami," kata Priscilla Borker, pekerja sosial berusia 31 tahun yang bergabung dengan demonstrasi di Brooklyn pada hari Jumat.

Lebih takut dibunuh polisi

Setelah berbulan-bulan menjauhkan diri dari perkumpulan sosial untuk menghindari penyebaran Covid-19, unjuk rasa merupakan titik puncak tidak hanya dalam perang melawan kekerasan polisi rasis, tetapi juga dalam perang melawan penyakit Covid-19.

Dengan berkumpul di kerumunan, dengan sedikit peluang jarak sosial, para demonstran bermasker mengambil risiko tidak hanya kekerasan polisi tetapi kesehatan mereka sendiri, semua demi satu suara menuntut diakhirinya kekerasan rasial.

Baca lanjutannya: Warga Kulit Hitam AS: Saya Lebih Takut Dibunuh Polisi daripada Mati Karena Corona (Bagian 2)

Related

News 3104591768232646996

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item