DPR: Suku Baduy Kecewa Cuma Jadi Objek Wisata, Tapi Tidak Diurus

DPR: Suku Baduy Kecewa Cuma Jadi Objek Wisata, Tapi Tidak Diurus, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Anggota Komisi X DPR RI dari Dede Yusuf menilai permintaan Suku Baduy agar dihapus dari destinasi wisata sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah. Permintaan itu dituangkan dalam sebuah surat yang ditujukan langsung ke Presiden Joko Widodo.

Dede berpendapat selama ini pemerintah kurang memerhatikan Baduy, terutama soal perlindungan. Padahal selama ini wilayah adat Baduy dijadikan tempat destinasi wisata yang membantu perekonomian sekitar.

"Poinnya, surat tersebut adalah keputusasaan masyarakat Baduy yang merasa mereka ditinggalkan oleh pemerintah. Hanya dibuka sebagai destinasi wisata, tapi tidak diurus," kata Dede.

Dede mengusulkan agar pemerintah mengajak bicara perwakilan masyarakat Baduy. Dia percaya ada jalan tengah agar Baduy tetap bisa jadi destinasi wisata jika pemerintah serius memberi perhatian.

Salah satu caranya adalah memberi aturan tegas agar kelestarian alam dan budaya Baduy tidak terganggu para turis yang datang. Dede mencontohkan Bali yang bisa menjaga keasrian budaya dengan mengadakan polisi budaya atau pecalang.

"Kalau kita pergi ke Bali, kalau memasuki pura, bahkan orang asing pun semua diberikan aturan khusus, harus menggunakan selendang, tidak boleh kalau lagi sedang haid, menghormati, tidak bicara keras, dan itu tegas ada pecalang," ucapnya.

Politikus Partai Demokrat itu meminta pemerintah untuk mendengarkan keluhan Suku Baduy. Dia berkata pemerintah harus bisa menjamin Suku Baduy bisa tetap menjalani kepercayaan mereka jika tetap jadi destinasi wisata.

"Apakah Pak Jokowi merestui atau tidak surat masyarakat Baduy, tapi kalau mau diambil jalan tengahnya adalah tentu harus ada aturan tegas yang melarang orang untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan," ucapnya.

Masyarakat Baduy pada Senin (6/10) lalu mengirim surat ke Presiden Jokowi berisi permintaan agar wilayah adat mereka bisa dihapus dari destinasi wisata.

Surat tersebut ditandatangani oleh Jaro (kepala desa) Saidi sebagai Tanggungan Jaro 12, Jaro Aja sebagai Jaro Dangka Cipari, dan Jaro Madali sebagai Pusat Jaro 7.

Para tetua adat itu merasa terganggu dengan dokumentasi yang dilakukan para wisatawan. Padahal, ada larangan untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan ke dunia luar. Selain itu, kunjungan wisatawan berakibat penumpukan sampah di kampung-kampung adat.

Related

News 5025676235331654155

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item