Ekonom sebut Biang Kerok Kasus Corona Tembus 100 Ribu adalah Anggaran Telat

Ekonom sebut Biang Kerok Kasus Corona Tembus 100 Ribu adalah Anggaran Telat, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Jumlah kasus positif virus corona atau covid-19 di Indonesia resmi melewati angka 100 ribu, tepatnya 100.303 orang pada hari Senin (27/7). Dari jumlah itu, sebanyak 58.173 orang sembuh dan 4.838 orang meninggal dunia.

Sejak memasuki Juli 2020, jumlah rata-rata kasus virus corona meningkat tinggi. Pada bulan ini pula, rekor-rekor baru tercipta, dengan jumlah tertinggi mencapai 2.657 orang pada 9 Juli 2020.

Berdasarkan data global, jumlah kasus virus corona di Indonesia masuk daftar ke-empat tertinggi di Asia dan nomor satu di Asia Tenggara. Di Asia, jumlah kasus virus corona Indonesia berada di bawah India 1,43 juta, Pakistan 274,28 ribu kasus, dan Bangladesh 223,44 ribu orang.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai tingginya laju jumlah kasus virus corona di Tanah Air tak terlepas dari masalah lambatnya pencairan dana penanganan. Begitu pula, dengan pencairan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menurut catatan terbaru pemerintah, realisasi dana penanganan dampak corona baru mencapai Rp136 triliun atau 19 persen dari total pagu Rp695 triliun per 23 Juli 2020.

Realisasi terdiri dari anggaran perlindungan sosial yang baru mencapai 38 persen dari pagu, stimulus dan insentif UMKM 25 persen, insentif korporasi 13 persen, kesehatan 7 persen, dan dukungan untuk daerah 6,5 persen.

"Masalahnya masih bukan seberapa besar kekurangan anggaran, tapi bagaimana penyaluran anggaran, khususnya untuk kesehatan. Apalagi, ketika kasus sedang meningkat tinggi. Ini lambat sekali pencairannya," ungkap Yusuf. 

Padahal, sambungnya, ketika anggaran terlambat cair, maka seluruh mekanisme pencegahan hingga pemeriksaan kesehatan jadi ikut berjalan lamban. Hal ini jadi tak bisa menghalau pergerakan virus yang cepat menyebar dan menular dari satu orang ke orang lain.

Dengan kondisi ini, menurut Yusuf, Presiden Jokowi tak bisa lagi menunggu. Perlu ada terobosan baru dalam pelaksanaan penggunaan anggaran di bawah Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

"Perlu wewenang tambahan kepada komite untuk tidak hanya mempercepat, tapi juga investigasi dan beri saran kepada presiden, apa yang sebenarnya terjadi, apa kendalanya, dan lainnya. Kalau perlu buat tambahan regulasi untuk percepatan," katanya.

Regulasi ini bisa berupa pencairan dana di depan sebelum ada laporan kebutuhan dan verifikasi data untuk pencairan anggaran. Misalnya, Kementerian Keuangan memberikan dana lebih dulu kepada Kementerian Kesehatan, sehingga Kemenkeu tidak menunggu Kemenkes seperti prosedur normal.

"Ini bisa dikecualikan mengingat kondisinya seperti ini. Tapi perlu ada kesepakatan mekanisme yang melibatkan BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung agar semuanya jelas dan tidak jadi temuan di kemudian hari," jelasnya.

Lebih lanjut, dari sisi angka setidaknya pemerintah perlu mengejar realisasi pencairan anggaran sebesar 15 persen per bulan sampai akhir tahun bila ingin realisasi mencapai 100 persen di pengujung 2020.

Target angka ini terasa perlu untuk mengukur efektivitas kebijakan dan kehadiran pemerintah, termasuk melalui Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Senada, Ekonom Indef Tauhid Ahmad mengatakan suka tidak suka lambatnya langkah pemerintah dalam mencairkan dana corona menjadi sumbangsih bagi cepatnya laju pertambahan jumlah kasus virus corona di dalam negeri dari hari ke hari.

Sebab, anggaran merupakan pendukung terciptanya tes-tes pemeriksaan di masyarakat. "Bahkan saat ini bukan hanya perlu testing, tapi tracing dan tracking yang semakin cepat karena banyak kluster-kluster baru bermunculan, jadi harus cepat juga mitigasi penyempitan klusternya," terang Tauhid.

Di sisi lain, lambatnya pencairan anggaran penanganan dampak pandemi corona membuat masyarakat jadi harus segera mengerahkan kemampuan diri agar bisa tetap mengisi perut. Akhirnya aktivitas ekonomi pun mulai dilakukan lagi di masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini.

Sayangnya, hal ini justru menimbulkan munculnya kluster-kluster baru, khususnya di kawasan perkantoran. "Ini cermin kegagalan PSBB transisi, lebih baik PSBB tetap dikembalikan seperti semula, perkantoran adopsi lagi sistem kerja online," ucapnya.

Untuk itu, percepatan pencairan anggaran penanganan dampak pandemi corona menjadi langkah mutlak yang harus dilakukan. Ia pun meminta Kemenkeu bisa mempercepat hal ini.

"Karena yang sering terdengar cash flow (arus kas) di Kemenkeu itu kurang lancar, sehingga kementerian/lembaga lain jadi kesulitan pencairan," imbuhnya.

Hanya saja, Tauhid tidak tahu apa yang sekiranya membuat kinerja pencairan anggaran lambat selain masalah administrasi. Sebab, dari sisi sumber dana, toh, Kemenkeu sudah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) secara masif dan rutin.

Bahkan, penawaran yang masuk selalu lebih tinggi dari target yang ditetapkan. Selain itu, pemerintah juga sudah mendapat dukungan pembagian beban dari Bank Indonesia (BI).

"Kan sudah jual SBN dan burden sharing, jadi dari sisi dana seharusnya sudah siap untuk belanja, kecuali ada masalah cash flow," ungkapnya.

Di sisi lain, untuk menghalau cepatnya perkembangan jumlah kasus virus corona, pemerintah perlu menambah bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat. Tujuannya, agar aktivitas ekonomi mandiri masyarakat sedikit berkurang dan bisa mengurangi jumlah kasus.

"Misalnya, mungkin bisa ditambah dari Rp600 ribu per bulan, jadi Rp1 juta per bulan, atau waktunya dipastikan kalau tiap bulan bisa terima, jangan terlambat. Lalu, semua bansos diintegrasikan saja, jangan dipecah-pecah," pungkasnya.

Related

News 4979492026445509825

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item