Kisah Kelas Menengah Jepang yang Jatuh Miskin karena Krisis Ekonomi (Bagian 2)

Kisah Kelas Menengah Jepang yang Jatuh Miskin karena Krisis Ekonomi naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Kelas Menengah Jepang yang Jatuh Miskin karena Krisis Ekonomi - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Awalnya dia ingin masuk ke bidang pendidikan setelah lulus, tetapi ia akhirnya menyadari bahwa bidangnya boleh dianggap sebagai salah satu eksploitasi makna kehidupan. Kosakata populer ini berarti membuat pekerja merasa bermakna terhadap kerjanya sendiri sambil memaksa mereka menerima perlakuan rendah. Contoh yang paling jelas adalah perawatan anak dan perawatan lansia.

Koike, 23 tahun, harus membayar 7 juta yen (Rp 926 juta) untuk melunasi beasiswa. Dia akan berusia 43 tahun waktu dia selesai melunasinya. Kedengarannya masuk akal secara ekonomi. Dia telah membuang kebanggaan dan mulai menjual dirinya di sebuah tempat prostitusi di Ikebukuro beberapa tahun yang lalu.

Pekerjaan itu menghasilkan 50 hingga 60 ribu yen sehari. Sekarang, dia bekerja di klub malam agar dapat melunasi utangnya sesegera mungkin. Seperti Koike, lebih dari sepertiga mahasiswa saat ini menggunakan sistem beasiswa berbasis pinjaman.

Selama bertahun-tahun yang lalu, editor Momoko Onishi yang tinggal dekat dari pusat kota Tokyo, menyaksikan bahwa ada dua jalur pendidikan paralel antara keluarga kaya dan miskin.

Suatu hari pada tahun 2012, Onishi, wanita berusia 42 itu, masuk ke bar terdekat. Yang membuatnya marah adalah kisah yang dibagikan oleh pemilik bar itu. Kondisi SD negeri tempat anak perempuannya bersekolah kacau karena anak-anak kaya yang dapat mengikuti les tambahan tidak peduli dengan kurikulum di sana.

Namun, pemilik bar itu tidak memiliki uang untuk memasukkan anaknya ke tempat les tambahan. Di Tokyo, sebagai langkah untuk mewujudkan karier masa depan yang cerah, 70% murid SMP pergi ke les tambahan agar mereka dapat masuk ke SMA swasta yang bermutu tinggi.

Kemudian, Onishi, yang pernah mengajar sebagai tutor sebelumnya, membuka salah satu kelas tambahan gratis bernama Yomogi di lingkungannya. Setiap hari Minggu, guru yang bekerja sebagai sukarelawan dengan berbagai latar belakang mengajar murid-murid SMP yang tidak dapat mengikuti les tambahan akibat keterbatasan keuangan.

Menghadapi kesulitan anak-anak, dari sekitar tahun 2012, sektor non-pemerintah Jepang mulai memainkan peran. Jumlah sekolah gratis seperti Yomogi bertambah satu per satu. Tren ini meluas, terbukti dari bertambahnya jumlah kafetaria anak yang menawarkan makanan gratis atau harga murah mencapai 3.718 yen sampai tahun 2019.

Kelas Yoyogi membuka pendaftaran untuk 25 murid setiap tahun yang 70% hingga 80% di antaranya berasal dari keluarga ibu tunggal. Mereka biasanya tinggal di pinggiran kota.

”Saat ini, Anda tidak bisa membedakan mana anak yang miskin dan mana anak yang kaya. Kosmetik murah populer di kalangan anak perempuan. Produk kosmetik dijual di toko-toko 100 yen. Mereka juga dapat membeli pakaian dari merek berharga rendah seperti Shimamura."

Menurutnya, angkatan para orang tua anak-anak itu termasuk kelompok yang mengalami Zaman Es Pekerjaan (yaitu periode kesulitan mendapatkan pekerjaan yang berlangsung dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an) dan periode PHK masif selama krisis moneter global, tetapi permasalahan mereka belum ditangani dengan kebijakan yang cukup.

Setelah berkomunikasi dengan keluarga-keluarga miskin, Onishi mengerti bahwa kemampuan dalam menciptakan suasana yang positif dalam keluarga adalah kuncinya. ”Kalau tidak, anak-anak akan percaya bahwa mereka tidak perlu berusaha untuk belajar karena mereka tetap dapat bekerja di mini market setelah mereka menjadi dewasa”.

Jika orang tua mereka adalah pegawai non-formal, sulit bagi anaknya untuk membayangkan bagaimana rasanya bekerja di perusahaan.

Pada periode 1996 hingga 2018, jumlah pegawai non-formal termasuk pekerja kontrak dan sementara naik dua kali lipat menjadi lebih 20 juta orang. Angka ini menempati lebih dari sepertiga dari total jumlah pekerja Jepang.

Yang mengejutkan, ada di antara mereka yang bekerja sebagai staf pemerintah. Di negeri-negeri Barat, kemiskinan sering terkait dengan pengangguran, sedangkan karakteristik kemiskinan di Jepang adalah working poor.

Chihiro Takada (nama samaran) tinggal di kompleks perumahan di pinggiran Tokyo Barat. Kehidupan sehari-harinya menggambarkan aspek penderitaan bagi ibu-ibu tunggal.

Wanita berusia 51 tahun itu bercerita bahwa hidupnya terus jatuh. Ibu dua remaja ini pernah mengalami perceraian dua kali. “Saya selalu khawatir tentang keuangan”.

Takada sebelumnya bekerja di bidang perawatan lansia yang memiliki rintangan masuk rendah dan sekarang bekerja di mini market. Dia pikir sulit untuk mendapatkan pekerjaan penuh waktu sambil merawat anak-anaknya. Dia hanya tidur selama tiga jam sehari, dan tanpa disadari dia menderita semacam penyakit mental.

Related

World's Fact 1440492805907735198

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item