Sejarah Lahirnya Pancasila di Zaman Soekarno, hingga Kontroversi RUU HIP (Bagian 1)

Sejarah Lahirnya Pancasila di Zaman Soekarno, hingga Kontroversi RUU HIP, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Sukarno mencetuskan lima prinsip. Ketuhanan yang berkebudayaan adalah salah satunya. Sang proklamator menaruhnya di paling belakang. Dia menyebut lima prinsip itu sebagai philosophische grondslag (landasan filosofis). Saat itu juga, Sukarno menamakan prinsip-prinsip tersebut dengan Pancasila.

“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka,” kata Soekarno seperti dikutip dari Risalah Sidang BPUPKI (1995) yang dikeluarkan Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Anggota yang dimaksud Sukarno salah satunya adalah Muhammad Yamin. Konsep Yamin juga ada lima poin: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri ke-Tuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.

Sukarno memang tidak memulai dari nol. Apa yang dikatakan Yamin dan anggota lainnya membantu Sukarno merumuskan Pancasila. Konsep ini kemudian disempurnakan Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta.

Mempertimbangkan faktor keagamaan, “Ketuhanan yang berkebudayaan” diganti dengan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Perubahan lain terjadi di kemudian hari, tepatnya pada 18 Agustus 1945.

Sila pertama Pancasila diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Usulan Mohammad Hatta dengan mempertimbangkan kelompok minoritas melandasi perubahan ini. Ada masyarakat Indonesia dengan kepercayaan selain Islam yang mengancam akan melepaskan diri dari Indonesia karena merasa tidak terwakili dalam sila pertama.

Sebelum Sukarno-Hatta dilantik menjadi presiden-wakil presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Hatta melakukan rapat dengan panitia kecil. Isinya Hatta sendiri, Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan. Sejak itu, Ketuhanan yang Maha Esa terus bertahan hingga sekarang.

Dalam autobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2010), Hatta menulis rapat PPKI akhirnya dibuka pukul 09.30. Rapat kala itu juga membahas perubahan isi dari UUD yang “tidak prinsipil”. Bagi Hatta, perubahan sila pertama sangat penting dan saat itu seluruh perwakilan sepakat, tentu saja termasuk Sukarno.

“Yang prinsipil hanya perubahan dalam Pembukaan yang tersebut tadi, yang diterima dengan suara bulat,” catat Hatta.

Hari-hari ini, para politikus Indonesia kembali ramai membahas soal Pancasila. Pangkalnya adalah aspirasi beberapa anggota DPR, terutama dari Fraksi PDIP, yang ngotot menggolkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Ambisi Lama PDIP: Pancasila Sukarno

Sebagian besar pidato dan pernyataan anggota PDIP, termasuk petinggi partai, selalu melibatkan nama besar Bung Karno. Pidato-pidato Ketua Umum PDIP sekaligus anak Sukarno, Megawati Soekarnoputri, bisa dijadikan contoh.

Pada pidato di hari ulang tahun (HUT) PDIP ke-44, Megawati menyoroti fenomena munculnya kelompok yang anti terhadap Pancasila. Di bulan Januari 2017 itu Hizbut Tahrir Indonesia baru saja dibubarkan karena ideologinya dianggap bertentangan dengan dasar negara.

Lantas Megawati menyinggung ideologi partainya. Bukan Pancasila an sich, tapi Pancasila 1 Juni 1945.

“Dari awal mula saya membangun Partai ini, tanpa ragu saya telah menyatakan dan memperjuangkan, bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis, dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945,” kata Megawati.

Sebelum 2015, hari lahir Pancasila tidak diperingati setiap tahun. Joko Widodo yang mulai menjabat sebagai presiden tahun 2014 kemudian menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional. Perubahan ini berdasarkan usulan dari Megawati yang juga pernah mengusulkan hal serupa di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksud Megawati tidak berhenti pada lima sila, tapi ada Trisila dan Ekasila. Trisila memegang prinsip sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ke-Tuhan-an yang menghormati satu sama lain. Sedangkan Ekasila adalah perasan dari Trisila yang merujuk pada gotong royong.

Sudah tiga tahun berselang, pandangan PDIP tetap sama.

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah juga melontarkan hal serupa pada 29 Juni 2020. Pancasila mempunyai nilai yang lebih di dalamnya. Untuk menjelaskan hal tersebut, pandangan Bung Karno harus dijadikan rujukan. Basarah menegaskan pidato Bung Karno menguatkan Pancasila.

“Kami memaknainya [pidato Bung Karno] sebagai pengertian atas falsafah dasar yang terkandung dalam sila-sila Pancasila,” kata Basarah.

Baca lanjutannya: Sejarah Lahirnya Pancasila di Zaman Soekarno, hingga Kontroversi RUU HIP (Bagian 2)

Related

News 2368782999603362906

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item