Sejarah Pilpres 2014, Pemilu Paling Riuh dan Populer di Indonesia (Bagian 2)

Sejarah Pilpres 2014, Pemilu Paling Riuh dan Populer di Indonesia, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Pilpres 2014, Pemilu Paling Riuh dan Populer di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dalam laporannya, Obor Rakyat menyebut Jokowi adalah orang non-muslim keturunan Cina, korup, dan hanya “boneka” dari bekas presiden Megawati Soekarnoputri. Salah satu edisinya menggambarkan Jokowi sebagai seorang pembohong dengan hidung Pinokio.

Berbeda dengan apa yang dilakukan majalah Tempo beberapa waktu lalu yang mengkritisi kebijakan Jokowi dengan tampak muka Pinokio, Obor Rakyat membingkai Jokowi sebagai pembohong dengan alasan: mantan Wali Kota Solo itu berkewarganegaraan Singapura.

“Memang, kampanye hitam secara signifikan telah mengurangi elektabilitas kami, dan mereka tutup mata atas hal itu,“ kata Jokowi.

Di media sosial, Jokowi-JK kembali diuntungkan dengan narasi Prabowo adalah pelanggar hak asasi manusia, mengingat posisinya sebagai Danjen Kopassus yang terlibat berbagai peristiwa, termasuk kerusuhan Mei 1998 dan penculikan aktivis. Belum lagi isu yang menerpa status Prabowo sebagai duda.

Jurnalis Amerika Serikat, Allan Nairn, memublikasikan tulisan di blognya yang memuat wawancara off the record dengan Prabowo. Wawancara tersebut dilakukan pada 2001. Nairn saat itu hendak mengetahui sepak terjang Prabowo dalam pembantaian Santa Cruz November 1991, tapi Prabowo ternyata menyinggung hal lain, yakni mengenai Presiden Abdurrahman Wahid.

"Mengenai Gus Dur, Prabowo mengatakan: 'Militer pun bahkan tunduk pada presiden buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu saja!' ['The military even obeys a blind president! Imagine! Look at him, he’s embarrasing!']. Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda, ganteng—dan sekarang presiden kita buta!" tulis Nairn.

Hal ini kemudian menjadi bola panas. Kubu Prabowo-Hatta mau tak mau membantahnya dan menuding Nairn ikut campur dalam pilpres 2014, melakukan kampanye hitam.

"Pernyataan Allan Nairn adalah bagian dari black campaign yang terkoordinasi oleh sekelompok jurnalis asing yang tidak menghendaki Prabowo menjadi presiden," kata Direktur Komunikasi dan Media tim pemenangan Prabowo-Hatta, Budi Purnomo Karjodihardjo.

Lahirnya Cebong-Kampret

Sebelum hari pencoblosan, ada beberapa hal yang membuat pasangan Prabowo-Hatta mendapat kerugian. Pertama, cuitan dari politikus PKS Fahri Hamzah di akun Twitter-nya yang mengkritik rencana Jokowi mengadakan Hari Santri Nasional. Selain menyinggung santri, Fahri juga menyinyiri Jokowi dengan sebutan “sinting.”

Cuitan Fahri dianggap menghina santri dan Jokowi secara berlebihan. Ke publik, Fahri menjelaskan cuitannya bersifat pribadi, bukan bagian dari narasi kampanye Prabowo-Hatta.

Kedua, debat pilpres terakhir yang ditayangkan di layar televisi secara nasional. JK layak mendapat nilai sepuluh dari sepuluh, karena berhasil mempermalukan Hatta secara terbuka.

Dalam debat, Hatta bertanya soal Kota Solo dan Provinsi DKI Jakarta yang tak pernah mendapat penghargaan Kalpataru sepanjang Jokowi menjabat. JK kemudian meladeni pertanyaan itu dengan pasif. Menurutnya, pertanyaan itu tak layak dijawab karena penghargaan untuk sebuah kota terkait lingkungan seharusnya Adipura. Selesai sudah.

Pada hari pencoblosan, hasil hitung cepat dari pelbagai lembaga survei sudah keluar. Litbang Kompas menunjukkan Jokowi-JK mendapat 52,34 persen suara. Prabowo-Hatta dengan 47,66 persen.

Meski berbeda tipis, lembaga survei lain seperti CSIS Cyrus Network, SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia, Populi Center, dan Poltracking juga menunjukkan tren kemenangan Jokowi-JK.

“Alhamdulillah setelah melakukan kewajiban selama 5 tahun memberikan hak pilih kita, pada Rabu 9 Juli 2014, kita saksikan suatu proses penghitungan bahwa yang namanya pasangan Ir Joko Widodo bersama Bapak H Jusuf Kalla telah dapat dinyatakan sebagai presiden RI versi quick count," kata Megawati kala itu.

Di sisi seberang, Prabowo-Hatta juga mengklaim kemenangan dengan hasil hitung cepat lembaga survei seperti Jaringan Survey Inisiatif (JSI), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Indonesia Research Center (IRC).

Pada hari yang sama, Prabowo melakukan sujud syukur untuk kemenangannya. Dia yakin semua survei menunjukkan dirinya “unggul” dan “mendapat mandat dari rakyat Indonesia.”

Setelah pencoblosan, salah satu mantan peneliti IRC, Asep Saepuddin, membuat pengakuan: "Survei ini biasa dilakukan untuk dongkrak elektabilitas dan popularitas owner. Kadang dipakai juga untuk pilkada-pilkada, di mana (pemilik) di sana ikut meng-endorse sehingga terkesan ada peningkatan kinerja," ujar Asep.

Hari itu seakan-akan menjadi pengingat bagi masyarakat Indonesia bahwa klaim kemenangan yang dilakukan Prabowo di tahun 2019 bukanlah hal baru. Namun satu lagi yang muncul: kekalahan Prabowo, yang saat itu tentu tak dia terima, juga membawa dampak polarisasi hingga hari ini.

Setelah Pilpres 2014, mereka yang mendukung Jokowi kerap disebut cebongers. Sebutan lainnya: cebong, togog, BuzzerRp. Sedangkan kubu pendukung Jokowi tak kalah kreatif. Mereka menamai lawan politik sebagai kampret, sobat gurun, sobat Miramar, dan kadrun.

Sebagian orang mungkin tertawa mendengar julukan itu. Tapi tidak bisa dipungkiri, 9 Juli 2014 adalah awal dari semua permusuhan pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo hingga sekarang. Dan entah sampai kapan.

Related

Indonesia 1435174093092456789

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item