Biografi Lengkap Soekarno, Presiden Pertama Indonesia (Bagian 2)

Biografi Lengkap Soekarno, Presiden Pertama Indonesia naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Biografi Lengkap Soekarno, Presiden Pertama Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Disebutkan dalam berbagai organisasi, seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur, dan lain-lain, disebut-sebut dan terlihat begitu aktif.

Akhirnya, tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah, seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin, karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang, sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.

Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia, termasuk merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.

Pada 1943, Perdana Menteri Jepang, Hideki Tojo, mengundang tokoh Indonesia, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, ke Jepang, dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut.

Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam, yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.

Masa Perang Revolusi

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadi Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih, serta Chairul Saleh.

Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah, dan pasukan Sekutu belum tiba.

Namun Soekarno, Hatta, dan para tokoh, menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia, yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu yang bertepatan dengan Ramadhan, bulan suci kaum muslim, yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur-an.

Pada 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada 29 Agustus 1945, pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.

Pada 19 September 1945, kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah; peristiwa Lapangan Ikada, dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto, setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno.

Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu (dibawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan.

Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda.

Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.

Masa kemerdekaan

Setelah Pengakuan Kedaulatan (pemerintah Belanda menyebutnya sebagai Penyerahan Kedaulatan), Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya.

Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada 17 Agustus 1950 RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia, dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.

Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya, kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat, dibandingkan terhadap kepala pemerintahan, yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung", membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian".

Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.

Soekarno dan urusan luar negeri

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika yang masih belum merdeka dan belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika.

Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat, yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik, juga menjadi perhatiannya.

Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma), dan Jawaharlal Nehru (India), ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok.

Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaan. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini, karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa pada Soekarno bila ingat atau mengenal Indonesia.

Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara, dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), dan Mao Tse Tung (RRC).

Kejatuhan

Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965. Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi, walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.

Massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi, dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.

Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI, karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap Soekarno yang menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.

Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret, yang ditandatangani oleh Soekarno. Isi surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu, guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.

Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto, yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat, untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.

Kemudian, MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapan, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS, dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.

Baca lanjutannya: Biografi Lengkap Soekarno, Presiden Pertama Indonesia (Bagian 3)

Related

Indonesia 1051332132042844325

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item