Mengapa Orang Pintar dan Terdidik Bisa Ikut Percaya Hoax Virus Corona? (Bagian 2)

Mengapa Orang Pintar dan Terdidik Bisa Ikut Percaya Hoax Virus Corona? naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Orang Pintar dan Terdidik Bisa Ikut Percaya Hoax Virus Corona? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Atau mungkin orang berpikir bisa mengalihkan tanggung jawab penilaian pada orang lain. Banyak yang membagi informasi palsu dengan pengumuman di depan, “saya tak tahu ini benar atau tidak.”

Mungkin ini didasari niatan: siapa tahu informasinya benar dan akan membantu teman dan pengikut, dan ketika tidak benar dianggap tidak merugikan.

Pikiran seperti ini mendorong orang membagikan tanpa sadar bahwa misinformasi bisa merugikan juga.

Isi berita palsu – apakah itu berupa obat baru atau teori bahwa pemerintah sedang menyembunyikan sesuatu – menjanjikan adanya respons yang kuat dari pengikut di media sosial. Ini membuat orang teralih dari hal terpenting: apakah informasi itu akurat?

Mengabaikan respons

Riset psikologi klasik memperlihatkan bahwa beberapa orang sangat baik dalam mengabaikan respons mendalam mereka. Orang seperti ini biasanya lebih mudah termakan berita palsu.

Peneliti seperti Pennycook menggunakan alat bernama “cognitive reflection test” atau CRT untuk mengukur kecenderungan ini. Untuk memahami cara kerjanya, lihat pertanyaan berikut:

Ayah Emily punya tiga anak. Yang dua bernama April dan May. Siapa nama anak ketiganya?

Banyak yang secara intuitif menjawab June. Namun tentu jawaban yang benar adalah Emily.

Untuk sampai pada jawaban benar, kita perlu berhenti sejenak dan mengalahkan respons intuitif.

Pertanyaan-pertanyaan CRT merupakan tes kecenderungan seseorang: apakah ia akan menggunakan akal untuk memikirkan sesuatu secara analitis ketimbang menuruti intuisi.

Orang yang tak menggunakan akal ini kerap disebut oleh psikolog sebagai “kikir kognitif” karena mereka memiliki akal tetapi tidak banyak menggunakannya.

Kekikiran kognitif ini membuat kita lebih mudah mengalami bias kognitif, dan ini mengubah cara kita mengonsumsi informasi (dan misinformasi).

Dalam soal pernyataan seputar virus corona, Pennycook menemukan bahwa orang yang skornya rendah dalam CRT tidak terlalu mempertimbangkan akurasi sebuah pernyataan, yang bisa jadi dengan sukarela mereka sebarkan.

Menghentikan penyebaran

Memahami bahwa orang – bahkan yang pintar dan terdidik – kerap “kikir” dalam menggunakan akal, bisa membantu kita untuk menghentikan misinformasi.

Mengingat juga bahwa “kebenaran” bekerja saat pikiran kita mengalir dengan lancar, maka pihak yang berupaya menyanggah informasi harus menghindar cara penyajian yang rumit.

Fakta harus disajikan sesederhana mungkin dengan bantuan gambar dan grafis yang membuat ide lebih mudah divisualisasi.

Menurut Matthew Stanley dari Duke University, “kita butuh komunikasi dan strategi yang efektif untuk mengarah kepada orang-orang yang tak ingin merenung dan berpikir panjang”.

Kampanye menyanggah mitos harus menghindari penyebutan mitos yang ingin dibantahnya. Pengulangan membuat mitos itu jadi semakin akrab, malah meningkatkan persepsi bahwa mitos benar adanya.

Terkait perilaku dengan media sosial, kita mungkin perlu mencoba untuk tidak terlibat secara emosional dengan unggahan yang kita lihat.

Lalu mau berpikir tentang fakta dibalik unggahan itu sebelum ikut membagikannya. Apakah dasarnya omongan orang, atau ada dasar ilmiahnya? Bisakah faktanya ditarik hingga ke sumber awalnya? Dan seterusnya.

Ini merupakan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan, ketimbang berpikir untuk mengumpulkan ‘suka’ atau pikiran ‘niatnya untuk membantu orang’. Ada bukti bahwa cara berpikir seperti itu bisa dilatih.

Pennycook menyarankan perusahaan media sosial untuk melakukan intervensi langsung agar penggunanya lebih berpikir panjang.

Dalam percobaannya, ia menemukan, dengan meminta pengguna untuk menilai akurasi fakta sebuah pernyataan, mereka mulai lebih banyak berpikir kritis tentang pernyataan-pernyataan lain.

Hasilnya, mereka dua kali lebih banyak menimbang-nimbang informasi sebelum membagikannya.

Praktisnya bisa sangat sederhana: media sosial menyediakan pengingat otomatis agar pengguna bisa berpikir dua kali sebelum membagikan.

Memang tidak ada satu obat ampuh untuk mengatasi ini semua.

Seperti halnya upaya kita untuk menahan laju virus ini, kita membutuhkan adanya pendekatan beragam untuk melawan penyebaran misinformasi yang merugikan dan berbahaya.

Related

Science 776480363018721688

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item