Menguak Fakta dan Hoax Terkait Klaim Temuan Obat Covid-19 di Amerika (Bagian 2)

Menguak Fakta dan Hoax Terkait Klaim Temuan Obat Covid-19 di Amerika, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Menguak Fakta dan Hoax Terkait Klaim Temuan Obat Covid-19 di Amerika - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Salah satu klaim para dokter dalam video tersebut yang cukup menarik perhatian adalah terkait penggunaan Hydroxychloroquine, Azithromycin, dan Zinc sebagai obat COVID-19.

"Dan hari ini saya di sini untuk mengatakan, bahwa Amerika, ada obat untuk COVID. Semua kebodohan ini tidak perlu terjadi. Ada obat untuk COVID. Ada obat untuk COVID yang disebut hydroxychloroquine. Obat itu disebut Zinc. Obat itu disebut Zithromax,” sebut Immanuel dalam video tersebut.

Lebih lanjut, Immanuel juga mengklaim telah menyembuhkan 350 pasien pernapasan dengan kondisi bawaan diabetes atau asma. Namun, tidak ditemukan bukti terkait jumlah pasien tersebut.

Terkait hidroksiklorokuin (HCQ), hingga kini belum ada bukti saintifik yang solid dan kuat bahwa HCQ dan klorokuin (CQ) bisa menyembuhkan pasien COVID-19. Pada 20 Juni, Institut Kesehatan Nasional AS telah menghentikan uji klinis hidroksiklorokuin terhadap 470 pasien COVID.

Institut tersebut mengatakan bahwa studi menunjukkan penanganan pasien COVID-19 menggunakan HCQ tidak menimbulkan bahaya, namun di saat yang bersamaan juga tidak menampakkan hal yang menjanjikan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan AS juga memperingatkan penggunaan HCQ dan CQ untuk COVID-19 "di luar aturan rumah sakit atau uji klinis karena berisiko dapat membahayakan jantung" dan memicu masalah kesehatan lainnya, termasuk "gangguan pada kelenjar getah bening, cedera ginjal, dan kegagalan hati."

Namun demikian, sebuah penelitian di U.S. National Library of Medicine sedang dilakukan untuk menguji keamanan dan kemanjuran HCQ, Azithromycin, Zinc Sulfate, dan Doxycycline bila dikombinasikan satu sama lain. Dengan catatan, studi yang melibatkan 750 partisipan ini belum dipublikasikan hasilnya dan diperkirakan tidak akan selesai hingga 31 Desember 2020.

Potensi penggunaan CQ untuk pasien COVID-19 pertama kali disuarakan oleh pemerintah Cina dalam konferensi pers pada 17 Februari 2020. Pemerintah Cina merujuk Institut Virologi Wuhan yang melaporkan penelitian eksperimental in-vitro untuk CQ pada 4 Februari 2020 dan dilanjutkan dengan HCQ pada 18 Maret 2020.

Kedua riset di Wuhan tersebut menunjukkan kedua jenis obat itu mampu membunuh virus SARS-CoV-2 dalam dosis rendah.

Sedikit catatan, dikutip dari The Conversation, penelitian in-vitro merupakan riset eksperimental untuk melihat dosis obat yang dibutuhkan guna membunuh virus. Penelitian ini melibatkan sel inang yang telah terinfeksi dan dilakukan di laboratorium tanpa melibatkan pasien COVID-19.

Riset in-vitro ini memiliki desain eksperimen yang sangat terbatas sehingga tidak dapat langsung diaplikasikan pada manusia. Keterbatasan utamanya terletak pada metodenya yang tidak melibatkan pasien COVID-19, sehingga tidak dapat menentukan respons dari sistem biologi manusia yang sangat kompleks: Apakah responsnya menguntungkan bagi efek terapi atau justru menimbulkan keracunan.

Di Indonesia sendiri, Gugus Tugas Percepatan dan Penangananan COVID-19 Nasional pada 14 Juni sempat mengumumkan hasil temuan lima kombinasi obat-obatan yang dinilai efektif digunakan untuk mengobati pasien yang terinfeksi SARS-Cov2.

Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga (Unair) bekerjasama dengan Badan Inteljen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lima kombinasi obat itu yakni loprinavir-ritonavir-azitromisin, loprinavir-ritonavir-doxixiclin, loprinavir-ritonavir-klaritomisin, hidroksiklorokuin-azitromisin dan hidroksiklorokuin-doksisiklin.

Menurut Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zuliies Ikawati, obat-obat ini sudah dicoba kepada pasien COVID-19 secara klinis. "Selama ini sudah dicobakan juga untuk pasien COVID-19 secara klinis. Hasilnya masih bervariasi, dan biasanya obat ini dikombinasi dengan obat lain, seperti interferon," ujarnya.

Namun, meski dianggap efektif, penggunaan obat-obatan itu bukan tanpa risiko, sebut Zuliies. Obat-obatan tersebut memiliki sejumlah efek samping yang harus diperhatikan sesuai dengan kondisi pasien.

"Klorokuin dan hidroksiklorokuin sendiri juga punya efek ke gangguan irama jantung, sehingga jika akan dikombinasi dengan azitormisin harus hati-hati, dengan pemantauan EKG yang ketat," ujarnya.

Dengan demikian, penggunaan CQ dan HCQ dapat menimbulkan efek beragam pada pasien. Penelitian terhadap penggunaan kedua obat ini juga terus dilakukan.

Kesimpulan 

Berdasarkan pemaparan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim-klaim dari America’s Frontline Doctors (AFD) bersifat salah sebagian (partly false). Keefektifan Hydroxychloroquine, Azithromycin, dan Zinc sebagai obat COVID-19 masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Di Indonesia sendiri, penggunaan CQ dan HCQ dapat menimbulkan efek beragam dan harus melalui anjuran dokter.

Related

News 840690286473031786

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item