China Disebut Bakal Seret Indonesia dalam Konflik Laut China Selatan
https://www.naviri.org/2020/09/china-disebut-bakal-seret-indonesia.html
Naviri Magazine - China disebut bisa menjerat Indonesia untuk meraih visinya pada Laut China Selatan melalui sebuah proposal. Padahal Indonesia telah lama memperjelas posisinya sebagai negara non-penggugat di Laut China Selatan.
Indonesia pun diminta untuk waspada terkait proposal yang ditawarkan oleh China tersebut. Hal itu dikatakan Aristyo Rizka Darmawan, yang menuliskan keresahannya mengenai posisi Indonesia di Laut China Selatan pada tulisannya yang dimuat The Interpreter.
Aristyo merupakan seorang dosen sekaligus peneliti senior di Center for Sustainable Ocean Policy di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan fokus penelitian pada keamanan maritim di Asia dan Pasifik.
Seperti diketahui, China telah mengajukan beberapa proposal pembangunan bersama di Laut China Selatan sejak 2017, kepada Filipina, Vietnam, dan Indonesia.
Dalam proposal tersebut China mengusulkan untuk membentuk Spartly Resource Management Authority (SRMA), dengan keanggotaan tidak hanya dari negara-negara penggugat yang bersengketa, yaitu Brunei, China, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, tetapi juga Indonesia.
Kekhawatiran itu berasal dari artikel yang pernah ditulis oleh Huaigao Qi dari Universitas Fudan. Artikel tersebut telah diterbitkan tahun lalu di Journal Contemporary East Asian Studies.
Dalam artikel yang ditulis oleh Huaigao disebutkan, tujuan China adalah memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan wilayah yang damai dan stabil, serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi persaingan China-Amerika Serikat (AS) di wilayah yang disengketakan.
Menurutnya bekerja sama dengan China sama saja dengan memvalidasi klaim Laut China Selatan, sebuah langkah yang akan sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan Indonesia.
"Penerbitan serangkaian catatan diplomatik antara kedua negara baru-baru ini membuat jelas Indonesia harus waspada terhadap niat China. Indonesia tidak boleh melibatkan proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan," jelasnya.
Langkah China yang menyeret Indonesia dalam pusaran konflik sengketa wilayah itu menjadi sorotan kelompok think tank yang berbasis di Sydney; Lowy Institute, dengan artikel berjudul "Jakarta should be wary of Beijing's South China Sea proposals".
Posisi Indonesia, jelas Indonesia bukanlah penggugat atas fitur apapun di Laut China Selatan, sehingga tidak ada batasan maritim yang tertunda dengan China. Tapi China secara sepiihak bersikeras Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas Pantai Pulau Natuna tumpang tindih dan diklaim sebagai 'sembilan garis putus'.
Sementara, putusan pengadilan internasional 2016 menegaskan 'sembilan garis putus' China tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional yang mendukung posisi Indonesia. Untuk alasan ini saja, tidak ada dasar bagi Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian pembangunan apa pun dengan China.
Keputusan pengadilan internasional pada 2016 itu pun diputuskan, bahwa untuk menciptakan pembangunan bersama di wilayah yang disengketakan, China diharuskan memiliki klaim yang sah berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
China tidak pernah menanggapi permintaan diplomatik Indonesia yang meminta klarifikasi soal sembilan garis putus. Dalam artikelnya, Huaigao menulis bahwa Beijing sengaja mempertahankan ambiguitas tentang koordinat dan dasar hukum dari sembilan garis putus, dalam upaya untuk menghindari eskalasi dalam sengketa dan menjaga hubungan dengan penuntut ASEAN.
Ini tampaknya interpretasi yang murah hati, bahkan jika dia mengakui, jika China akan mengambil tindakan militer lebih lanjut di wilayah yang disengketakan, hubungannya dengan penuntut ASEAN akan memburuk.
"Tidak ada alasan untuk mengharapkan agar sembilan garis putus akan segera berubah," Aristyo Rizka Darmawan menekankan.
Selama masih ada ambiguitas tersebut, tidak ada kemungkinan itikad baik dari China dalam menegosiasikan usulan pembangunan bersama dengan Indonesia.
Berdasarkan hukum internasional, Indonesia berhak atas ZEE-nya di perairan sekitar Pulau Natuna, dan berhak atas sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Jika Indonesia menyetujui proposal pembangunan bersama di bawah SRMA, kemungkinan besar Indonesia akan kehilangan hak kedaulatannya di dalam ZEE ini, karena akan ada 'Otoritas Manajemen Sumber Daya' untuk mengatur eksplorasi wilayah pengembangan bersama.
Setelah serangkaian insiden dengan China di Laut Natuna Utara dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo memperkuat posisi Indonesia di kawasan ini dengan fokus pada tiga program utama: wisata bahari, energi, dan pertahanan. Jakarta lebih baik fokus mengembangkan Kepulauan Natuna sendiri, daripada bergabung dengan China.
Perilaku China dalam mengawal kapal penangkap ikan ilegal ke ZEE Indonesia di Natuna meningkat seiring dengan meningkatnya penegakan hukum di Indonesia.
"Publik Indonesia semakin melihat China sebagai ancaman. Jika Jakarta berbalik dan tiba-tiba memulai pembangunan bersama dengan Beijing di daerah itu, kemungkinan besar itu akan menimbulkan pertentangan yang meluas," jelas Aristyo.
"Salah satu dari alasan ini saja akan menimbulkan pertanyaan mengenai kearifan Indonesia dalam mengupayakan pembangunan bersama di Laut China Selatan atau Laut Natuna Utara. Secara keseluruhan, itu adalah alasan yang jelas untuk menolaknya."