In the Realm of the Senses, Film Jepang Paling Kontroversial Sepanjang Masa (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2020/09/in-realm-of-senses-page-1.html
Naviri Magazine - In the Realm of the Senses mengandung penggambaran seks eksplisit yang berdasarkan kejadian nyata di Jepang 1930-an.
Lebih dari empat puluh tahun sejak dirilis pada 1976, In the Realm of the Senses masih saja menjadi salah satu film erotis paling kontroversial sepanjang masa. Kendati menuai pujian di negara-negara Barat, film hasil arahan sutradara Nagisa Oshima ini tidak pernah bisa bebas dari bayang-bayang gunting sensor di negara asalnya, Jepang.
In the Realm of the Senses (Ai no Koriida) diangkat dari kisah nyata yang terjadi di Jepang pada 1930-an. Sada Abe (Eiko Matsuda) merupakan pelayan penginapan yang dulunya pekerja seks.
Meski sudah pensiun dari dunia prostitusi, Sada tidak bisa menutupi hasrat seksnya yang sudah lama tidak terlampiaskan. Maka, ketika majikannya yang bernama Kichizo Ishida (Tatsuya Fuji) menggodanya, Sada tidak bisa menahan diri lagi.
Sada kemudian bersedia dipergundik oleh Kichizo ketika menyadari mantan tuannya itu sangat hebat dalam urusan ranjang. Dia dan Kichizo lantas memilih hidup dalam isolasi dan mulai menenggelamkan diri dalam maraton seks seharian penuh selama beberapa bulan. Keduanya diselimuti gairah menggebu yang akhirnya menghancurkan kehidupan satu sama lain.
Menjebol tabu
Dasawarsa 1930-an adalah masa ketika Kekaisaran Jepang tengah didominasi militerisme. Dalam kondisi tengah berperang, seluruh warga negara diharapkan berpartisipasi dalam membela negara. Hal ini ternyata tidak berlaku buat Sada maupun Kichizo. Keduanya memilih jalan hidup erotis yang pada dasarnya sudah melanggar norma-norma masyarakat Jepang saat itu.
Dalam Erotism: Death and Sensuality (1986: 11), Georges Bataille mengemukakan bahwa pada dasarnya “erotisisme bukan aktivitas seksual biasa”. Lebih jauh, sastrawan Perancis yang banyak menulis tentang erotisme ini mendeksripsikannya sebagai “pencarian psikologis yang tidak bergantung pada tujuan alami: reproduksi dan keinginan untuk beranak-pinak”.
Di buku yang sama, Bataille memaparkan kerja sebagai hal fundamental yang membedakan manusia dengan mamalia lain. Manusia adalah makhluk pekerja yang dalam prosesnya membentuk sikap dan pemikiran logis tentang “bagaimana mereka mati kelak”.
Ungkapan “tidak bekerja, tidak makan” yang pernah dipopulerkan Vladimir Lenin selama Revolusi Rusia seratus tahun silam kiranya cukup membuktikan argumen Bataille.
Bataille percaya pekerjaan yang diikuti kehidupan sosial pada akhirnya juga sangat menentukan perilaku seks manusia. Melaluinya, setiap individu menjadi mawas diri akan norma dan tata cara mengekspresikan seksualitas di hadapan orang lain. Aturan-aturan terkait pembatasan seks lantas disahkan oleh para penguasa atau penjaga norma dengan memastikan setiap pelanggarnya mendapatkan sanksi sosial atau bahkan pidana.
In the Realm of the Senses dengan cerdik membawakan tema tentang pantangan itu melalui kondisi kehidupan Sada yang seolah sedang dikekang. Saat masih bekerja sebagai pelayan penginapan, Sada ditampilkan sebagai perempuan pemalu, pasif, dan tunduk pada majikan. Kepercayaan dirinya baru benar-benar muncul tatkala salah seorang mantan pelanggannya dulu muncul dan meminta dirinya membantu melampiaskan hasrat seks.
Ketika sudah menjadi istri simpanan Kichizo, Sada mulai benar-benar membebaskan diri dari sifat pasifnya. Dari seorang pelayan pemalu yang pasrah digoda sang majikan, Sada menjelma pemimpin dalam setiap aktivitas seksual. Saat dicibir dengan julukan cabul oleh salah seorang pelayan, Sada merasa tidak terima dan lekas-lekas melampiaskan kemarahannya.
Pelanggaran atas tabu semakin berani ditunjukan pada babak-babak pertengahan hingga akhir. Sutradara Oshima dengan penuh percaya diri membeberkan bentuk-bentuk penyimpangan seksual untuk menantang norma yang mengatur tabu.
Permainan janggal seperti menjadikan makanan sebagai objek seks seolah berhasil melengkapi pemberontakan yang sedang dilakukan Sada dan Kichizo—mengingat budaya Jepang sangat menghargai makanan.
Baca lanjutannya: In the Realm of the Senses, Film Jepang Paling Kontroversial Sepanjang Masa (Bagian 2)