Minat Menikah di Kalangan Anak Muda di Asia Terus Menurun, Mengapa?

Minat Menikah di Kalangan Anak Muda di Asia Terus Menurun, Mengapa?

Naviri Magazine - Budaya Korsel menetapkan perempuan yang telah menikah otomatis menjadi ibu rumah tangga. Serupa aturan konservatif di negara lain, seorang istri bertanggung jawab terhadap segala urusan domestik, termasuk anak, sementara yang laki-laki bertugas mencari nafkah.

Memasuki abad ke-21, aturan tersebut mendapat perlawanan kuat dari generasi muda yang makin liberal. Kaum perempuan kian terdidik. Mereka pun lebih memprioritaskan pendidikan tinggi atau mengejar karier yang mapan.

Laporan Economist bertajuk Asia’s Lonely Hearts menguatkan analisa tersebut. Menurunnya minat untuk menikah di Asia disebut berakar dari makin banyaknya perempuan yang menyadari bahwa pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dalam rumah tangga sangat tidak setara, dan mereka menjadi korban terbesarnya.

Testimoninya bisa merujuk pada hasil penelitian Yue Qian, asisten profesor Sosiologi di University of British Columbia, yang dijajaki pada tahun 2006. Yue Qian menyinggungnya kembali di kanal Salon pada 14 Februari 2019—bertepatan dengan perayaan Hari Valentine.

Ia menemukan 46 persen perempuan Korsel usia 25-54 tahun yang telah menikah pada akhirnya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Lebih tepatnya: melakoni 80 persen dari total tanggung jawab domestik, sementara si suami hanya mengerjakan sisanya (20 persen).

Kim Eun-jin adalah ibu berusia kepala tiga asal Seoul. Lima hari dalam seminggu, usai menyiapkan sarapan, ia berangkat ke kantor pada pukul 4:30.

Eun-jin sampai rumah sekitar pukul 8:30 malam. Tidak untuk bersantai, tapi memasak makan malam, mengurus suami, dua anaknya, dan baru bisa beristirahat pada tengah malam. Kesehariannya di akhir pekan tidak jauh berbeda, minus ke kantor saja.

“Jika diberi kesempatan hidup kedua, saya memilih melajang saja. Saya tidak sepenuhnya menyesali pernikahan. Tapi juga tak mau mengulanginya lagi. Saya akui: menikah dan menjadi ibu yang sekaligus bekerja itu sangat sulit,” katanya kepada Claire Lee dari Korea Herald.

Claire mengutip sebuah riset yang memaparkan bahwa tiga tahun yang lalu, 50 persen perempuan lajang di Korsel menilai pernikahan sebagai pilihan, alih-alih kebutuhan.

“Aku tidak akan mendorong perempuan muda yang lajang untuk mempertahankan statusnya. Tapi aku akan memberitahu mereka agar berpikir betul sebelum mengambil keputusan. Pernikahan bisa menimbulkan kejutan—dan tidak semuanya bagus.”

Related

Romance 7581673970473165230

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item