PSBB Jakarta Dinilai sebagai Kebingungan Anies Hadapi Lonjakan Kasus Corona

PSBB Jakarta Dinilai sebagai Kebingungan Anies Hadapi Lonjakan Kasus Corona

Naviri Magazine - Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai sebagai panic policy atau kebijakan yang diputuskan di tengah kepanikan menghadapi pandemi covid-19.

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyatakan, Anies kebingungan menghadapi laju penyebaran virus corona (covid-19) yang semakin tidak terkendali di ibu kota.

"Menurut saya, kebijakan Pak Anies ini posisinya bingung, panic policy sebenarnya. Dihadapkan dengan kondisi kenaikan jumlah kasus, secara epidemiologis yang terpapar covid kan tinggi sekali," kata Trubus saat dihubungi.

Penambahan kasus positif harian di Jakarta diketahui terus melonjak. Sejak awal September, kasus positif bertambah hingga 1.000 kasus setiap harinya.

Anies pun memilih menerapkan kembali PSBB mengingat kondisi pandemi di DKI yang tidak kunjung membaik. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu memproyeksi rumah sakit rujukan di Jakarta tidak akan sanggup bertahan hingga 17 September 2020.

Secara epidemiologis, kata Trubus, penanganan covid-19 di Jakarta sebetulnya lebih baik ketimbang daerah lain. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan Jakarta mengetes sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dari klaim Anies pada Agustus lalu, DKI mampu melakukan 11 ribu tes spesimen per hari dengan jaringan 54 laboratorium.

Namun penerapan kembali PSBB total, dinilai Trubus, tak menjamin pengendalian penyebaran virus lantaran jumlah kapasitas tes di Jakarta sudah meningkat drastis.

Penerapan PSBB pertama pada April lalu, menurutnya, seolah berhasil lantaran kapasitas tes di Jakarta masih minim. Kali ini, Trubus memprediksi penerapan PSBB total tidak akan banyak mengubah keadaan.

"Ketika ingin menerapkan PSBB ini kan kelihatannya seperti romantisasi, berkhayal, halusinasi," kata Trubus.

"Dulu PSBB pertama penularannya kecil, bukan karena sedikit menular, karena waktu itu pengetesannya juga minim, alat-alat masih minim, sehingga kesan yang muncul itu," ujarnya menambahkan.

Saat ini Anies seharusnya tetap menjalankan PSBB transisi dengan pengawasan dan penindakan aturan serta peningkatan protokol kesehatan.

Pasalnya, Trubus melihat pengawasan dan penindakan aturan belum berjalan maksimal selama penerapan PSBB transisi. Padahal, DKI memiliki sejumlah produk hukum yang mendukung pelaksanaan tersebut.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan PSBB yang mengatur denda Rp250 ribu bagi warga yang tak mengenakan masker.

"Bahkan keluar Pergub lagi nomor 79, tentang denda progresif. Menurut saya itu yang diterapkan, di samping itu kebijakan yang lainnya mengikuti," tuturnya.

Ia juga menyarankan agar DKI menerapkan pembatasan sosial yang sifatnya berskala komunitas di tingkat RT atau RW yang masuk dalam kategori zona merah penyebaran covid. Menurutnya, hal itu akan lebih efektif dibanding menerapkan PSBB di seluruh wilayah Jakarta.

"Itu justru lebih efektif daripada memberlakukan di seluruh Jakarta karena kalau seluruh Jakarta dampaknya di masalah perekonomian," ungkapnya.

Trubus memprediksi Anies akan kesulitan karena mengalami resistensi atas penerapan kembali PSBB. Sebab, banyak warga yang lebih mementingkan kebutuhan sehari-hari ketimbang masalah penyebaran covid-19.

"Enggak ada jaminan masyarakat enggak ngelawan karena kebutuhan dasar harus dipenuhi, enggak bisa ditunda. Orang akan nekat mengabaikan itu semua. Enggak akan peduli dengan PSBB," pungkasnya.

Pendapat berbeda disampaikan ahli epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko. Menurutnya, penerapan kembali PSBB total di DKI efektif menurunkan kasus covid-19.

Hanya saja penerapan PSBB ini harus dilakukan dengan ketat untuk mencegah kerumunan.

"Faktor utamanya kerumunan, kalau PSBB ini bisa mencegah timbulnya kerumunan maka PSBB ini efektif mencegah penularan," ujarnya.

Ia menganjurkan pembatasan benar-benar dilakukan di tempat dengan potensi kerumunan tinggi seperti kantor dan pusat belanja untuk menghindari penularan.

Masyarakat juga harus tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan baik di luar maupun di dalam rumah. Sebab, kerumunan juga berpotensi muncul di dalam rumah ketika penerapan PSBB.

"PSBB ini menghilangkan kerumunan di DKI lewat tempat perkantoran yang ditutup, mal ditutup, otomatis tidak ada kerumunan, tidak ada penularan. Nah sekarang kerumunan pindah ke rumah, maka itu sangat bergantung dengan perilaku masyarakat di rumah supaya menerapkan protokol kesehatan," jelasnya.

Sementara itu Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane berpendapat serupa. Menurutnya, kasus covid-19 di Jakarta bisa turun apabila warga disiplin dengan penerapan PSBB.

"Jika dilakukan secara disiplin saya yakin akan terkendali," ujarnya.

Namun penerapan PSBB juga harus diiringi dengan penutupan akses bagi warga dari dan ke luar Jakarta. "Tetapi syaratnya DKI tertutup dari wilayah lain dulu," ucapnya.

Related

News 1291340702798876377

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item