Lemhanas: TNI Punya Peran Mengatasi Ancaman Terorisme Internasional, Bukan di Dalam Negeri

Lemhanas: TNI Punya Peran Mengatasi Ancaman Terorisme Internasional, Bukan di Dalam Negeri

Naviri Magazine - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjelaskan bahwa ketentuan konstitusional pengerahan TNI harus berdasarkan perintah presiden sesusai peraturan perundang-undangan yakni hanya berdasarkan perintah presiden melalui pernyataan publik yang terbuka untuk kontrol publik dan DPR dan tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis. 

Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan sama sekali tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan. 

Agus menambahkan bahwa masih banyak kalangan terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI dan berharap akan pelibatan TNI dalam kontraterorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan perundangan-undangan, ditambah dengan masih adanya kalangan TNI yang menganggap doktrin TNI unik dengan perannya sebagai penjaga bangsa sehingga tatanan dwifungsi ABRI masih dianggap berlaku. 

Ini disebabkan juga kontrol demokratik dari otoritas sipil yang masih lemah untuk menegakkan tatanan dari kemampuan berdasarkan kaidah demokrasi. Agus menyatakan bahwa upaya kontraterorisme menggunakan kerangka penegakan hukum (criminal justice system) sudah berjalan cukup efektif sehingga jika terorisme terjadi di dalam negeri maka akan menjadi tanggung jawab fungsi penegakan hukum seperti Polri dengan perbantuan TNI jika diperlukan berdasarkan keputusan politik atau sebagai akibat pernyataan keadaan darurat. 

Sedangkan jika terorisme terjadi di luar jurisdiksi sistem hukum nasional maka menjadi tugas dan kewenangan TNI. Agus menyatakan penerbitan perpres untuk TNI dalam peran menangani terorisme akan rawan tumpang tindih peran dengan berbagai lembaga lain seperti BNPT, Polri, Densus 88 dan lainnya. 

Agus pun menyarankan agar rancangan perpres disempurnakan terlebih dahulu dan mengemukakan mendesaknya kebutuhan menerbitkan UU perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada pemerintah sipil.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Beka Ulung Hapsara menegaskan bahwa Raperpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme mendesak untuk dibahas dan disempurnakan agar tidak salah langkah dan merusak kemajuan yang telah dicapai selama ini. Beka juga menyampaikan bahwa Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada presiden sebagai berikut:

Menarik Raperpres dimaksud dari DPR atau tidak melaksanakan pembahasan dan penandatangan sebelum ada kebijakan yang jelas berdasarkan prinsip negara hukum dan norma HAM;

Memastikan bahwa Raperpres dimaksud melandaskan pada konsep cirminal justice system;

Memastikan bahwa pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme sepenuhnya hanya didasarkan pada APBN untuk menjaga profesionalisme;

Menekankan setiap upaya dalam penanganan terorisme baik legislatif, penegakan hukum dan penganggaran senantiasa didasarkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan menjunjung tinggi HAM; dan

Memastikan adanya pengawasan internal dan eksternal yang akuntabel dan pertanggungjawaban hukum jika adanya pelanggaran.

Sedangkan rekomendasi Komnas HAM kepada DPR adalah sebagai berikut:

Mempertimbangkan dan menjadikan UU5/2018 sebagai dasar dalam pembahasan Raperpres dimaksud;

Menjadikan pengaturan mengenai perbantuan, kebijakan dan keputusan politik negara, penganggaran dalam APBN menjadi koridor dalam pembahasan Raperpres dimaksud;

Menekankan pada fokus pembahasan pelibatan militer dalam Raperpres dimaksu hanya fokus pada penindakan semata dengan batasan yang jelas, tingkat ancaman, dan bilamana fungsi Kepolisian tidak dapat mengendalikan, sehingga tidak meluas mulai dari penangkalan, penindakan dan pemulihan;

Memastikan bahwa Raperpres dimaksud selaras dengan tatanan criminal justice system dan sesuai dengan tata hukum yang berlaku terutama UU5/2018, UU34/2004, dan regulasi lain yang lebih tinggi.

Beka juga menegaskan bahwa Komnas HAM samasekali tidak menolak pelibatan TNI dalam kontraterorisme, namun pelibatan tersebut harus diatur dengan jelas dengan detil, batasan, serta ruang lingkup yang jelas, dan tidak melanggar HAM.

Pengajar Hubungan Internasional FISIP UPNVJT Prihandono Wibowo menyatakan bahwa ada pertanyaan seputar efektivitas pelibatan militer dalam kontraterorisme. Dono mengatakan bahwa jauh lebih efektif menggunakan pendekatan penegakan hukum dan intelijen dalam menangani terorisme. 

Pendekatan militer dalam kontraterorisme hanya efektif jika skala aksi terorisme tersebut sudah naik menjadi penguasaan wilayah atau pemberontakan (insurgency). Dono mengkhawatirkan akan terjadinya tumpang tindih wewenang dan operasi jika TNI dilibatkan dalam kontraterorisme bukan sebagai bentuk perbantuan kepada penegak hukum dengan aturan dan otorisasi politik yang jelas. 

Dono juga menambahkan bahwa ada kecemasan dalam masyarakat sipil bahwa pelibatan TNI dalam kontraterorisme yang bukan bersifat perbantuan dapat menggeser peran TNI kembali ke masa silam di mana militer juga ikut campur dalam urusan kehidupan sipil. 

Dono menegaskan bahwa setiap operasi pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus berdasarkan keputusan politik yang jelas, yakni presiden dan DPR, serta ada pengaturan yang jelas pada tiap operasi mengenai ruang lingkup, skala, durasi, satuan yang dilibatkan dan akuntabilitasnya.

Peneliti Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies Fitriani mengatakan bahwa Raperpres pelibatan TNI harus ditinjau ulang dan memberikan tiga kritik terhadap raperpres tersebut:

Ruang lingkup dan persyaratan pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus jelas;

Harus ada koordinasi operasional dan doktrinal antara TNI dengan unsur kontraterorisme lain;

Anggaran operasi hanya diperbolehkan dari APBN.

Fitri memberikan saran untuk pelibatan TNI dalam kontraterorisme sebagai berikut:

Pelibatan TNI dalam kontraterorisme diizinkan pada saat kondisi ekstrim dan kritis;

Perlu ada koordinasi yang jelas dan standar kerja antara TNI dengan instansi-instansi kontraterorisme lainnya agar tidak terjadi masalah operasional;

Pendanaan operasi TNI harus dipusatkan dari APBN;

Doktrin yang digunakan TNI harus diselaraskan dengan doktrin kontraterorisme;

Semua operasi kontraterorisme oleh TNI hanya boleh diotorisasi jika ada persetujuan dari dua sumber (Presiden dan DPR);

Harus ada sinkronisasi dengan hukum yang ada.

Related

News 5899480453835445512

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item