Pemilu Amerika: Apa yang Terjadi jika Trump Menolak Keluar dari Gedung Putih? (Bagian 2)

Pemilu Amerika: Apa yang Terjadi jika Trump Menolak Keluar dari Gedung Putih?

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pemilu Amerika: Apa yang Terjadi jika Trump Menolak Keluar dari Gedung Putih? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

"Tindakan itu bakal menimbulkan kerusakan besar pada negara, pada prinsip-prinsip penting mengenai hubungan sipil-militer, dan pada masa depan demokrasi di dunia," tambahnya, mewanti-wanti.

Bagaimanapun, kata Rudesill, dalam pandangannya, skenario Trump mempertahankan kekuasaan dan disokong pasukan keamanan, tidak mungkin terjadi.

"Personel militer bersumpah setia pada konstitusi, bukan pada politisi yang sekarang menjabat.

"Dan perwira dengan kedudukan militer tertinggi di negara ini, Jenderal Mark Milley selaku Kepala Staf Gabungan, telah berulang kali mengatakan militer tidak punya peran dalam pemilu ini."

Profesor Rudesill bukanlah satu-satunya pakar yang mengkaji topik ini. Ahli lainnya adalah Keisha Blaine, profesor University of Pittsburgh yang merupakan pakar kajian gerakan protes sosial.

"Fakta bahwa kita harus bertanya kepada diri kita, apakah pasukan bersenjata akan turun tangan dalam pemilu, mengungkap banyak hal mengenai kondisi menyedihkan di negara kita," paparnya kepada BBC.

"Empat tahun lalu, banyak orang Amerika yang tidak memikirkan hal ini. Namun, setelah melihat Trump mengerahkan personel federal [dalam kericuhan] di Portland dan Washington dalam beberapa bulan terakhir, hal ini menjadi kerisauan serius.

"Menurut saya, skenario ini tidak akan terjadi, namun kita tidak bisa mengesampingkan bahwa ini adalah kemungkinan serius mengingat apa yang telah terjadi tahun ini," tuturnya.

Pada saat rangkaian protes muncul bersama dengan gerakan anti-rasisme pada pertengahan tahun ini, Trump mempertimbangkan untuk mengerahkan militer guna membubarkan demontrasi tersebut.

Pada 5 Juni, harian the New York Times mengklaim bahwa Jenderal Miller meyakinkan Trump untuk tidak memberlakukan Undang-Undang Pembangkangan tahun 1807 guna mengerahkan pasukan aktif untuk meredam serangkaian aksi protes.

Harian itu menulis UU tersebut adalah "garis yang menurut para perwira militer Amerika tidak akan mereka langkahi, walaupun presiden memerintahkannya".

Pada akhirnya Trump memerintahkan pengerahan Garda Nasional, yang tergantung dalam keadaan, bisa bertindak di bawah kewenangan presiden dan/atau gubernur negara bagian.

Para personel dari pasukan keamanan non-militer di bawah kewenangan Departemen Keamanan Dalam Negeri juga dilibatkan untuk meredam rangkaian aksi demonstrasi di Washington, Portland, dan sejumlah kota lainnya.

Dari kejadian itu, beberapa kalangan berspekulasi bahwa jika terjadi krisis terkait pemilu, Trump berpotensi mengerahkan personel bersenjata dari kesatuan non-militer.

Akan tetapi, jika pasukan bersenjata diasumsikan tidak bersedia dikerahkan untuk mempertahankan jabatan Trump, sulit dibayangkan Trump bisa sukses melanggengkan kekuasaan di Gedung Putih..

Aksi kekerasan saat menunggu presiden baru?

Professor Rudesill mengaku khawatir dengan adanya skenario-skenario ini.

"Saya telah menulis mengenai kemungkinan Presiden Trump akan mencoba menggunakan perintah eksekutif, atau Departemen Kehakiman yang dikendalikan sekutu-sekutu politiknya akan berupaya mengeluarkan 'perintah', yang mengindikasikan Kewenangan Eksekutif harus menganggap Trump sebagai pemenang pemilu yang disengketakan," kata Rudesill kepada BBC.

Namun, dia mewanti-wanti langkah tersebut "sangat tidak pantas dan tidak bisa diterima."

"Memerintahkan militer untuk terus memberi hormat kepada presiden di luar masa jabatannya pada tengah hari 20 Januari akan menempatkan militer dalam situasi mustahil," tuturnya.

"Setengah dari seluruh penduduk di negara ini dan banyak lainnya di dunia akan berpikir bahwa militer AS yang apolitis telah mengambil posisi partisan. Militer seharusnya tidak pernah menerima perintah semacam itu," kata Professor Rudesill.

Dan, lepas dari kondisi ekstrem manakala otonomi pasukan keamanan dipertaruhkan akibat perselisihan partai politik, kalangan lainnya memperingatkan situasi politik saat ini bisa memunculkan kekerasan di ranah lain.

Situasi ketika kandidat yang kalah menolak menerima kekalahan bisa memunculkan "kemungkinan huru-hara sipil serius," tegas Keisha Blaine.

Retorika presiden "telah meningkatkan kemungkinan asi protes dan bahkan kekerasan," ujarnya.

Situasi di berbagai kota di AS dalam beberapa bulan terakhir, tatkala para demonstran gigih mengungkapkan sokongan kepada presiden, dan pada saat bersama muncul kelompok-kelompok oposisi radikal yang beberapa di antaranya juga bersenjata, adalah pengingat potensi kekerasan yang dimunculkan ketegangan politik di AS saat ini.

Related

News 1703650404147991183

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item