Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan (Bagian 2)

Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan

Naviri Magazine
- Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada 6 Maret 2014, MK memutuskan mengabulkan permohonan Antasari Azhar, yakni PK dapat dilakukan berkali-bali. Putusan ini mendapat respons yang kurang baik dari Mahfud MD, yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Mahfud berpendapat bahwa putusan MK terkait PK berkali-kali menimbulkan kepastian hukum seseorang menggantung. Terkait putusan MK tersebut, maka secara otomatis Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur bahwa PK hanya bisa diajukan satu kali sudah tidak berlaku, karena bertentangan dengan UUD 45.

Yang dapat mengajukan PK

Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya. Namun, dalam perkembangan, praktik peradilan saat ini terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan PK yaitu terpidana, ahli waris, atau kuasa hukum terpidana.

Terpidana atau ahli waris

Terpidana dan ahli waris memiliki kedudukan yang sama dalam mengajukan PK. Hal ini berarti bahwa sekalipun terpidana masih hidup, ahli waris dapat langsung mengajukan PK. Apabila terpidana meninggal dunia pada saat permohonan PK diajukan, maka ahli waris berperan menggantikan posisi terpidana dalam mengajukan PK.

Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan

Kuasa hukum

Dasar hukum diperbolehkannya PK ialah aturan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP yang tertuang dalam bentuk Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983. 

Aturan tersebut memperbolehkan terdakwa pada suatu kasus untuk memberi kuasa kepada kuasa hukum (pengacara), dalam upaya mengajukan kasasi. Berdasarkan penggunaan tersebut, Mahkamah Agung secara konsisten menggunakan dasar yang sama untuk diterapkan dalam syarat permohonan upaya hukum PK.

Alasan pengajuan PK

Suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum PK dengan menyertakan alasan yang jelas.

Keadaan baru

Salah satu alasan yang dapat diterima untuk pengajuan PK berdasar undang-undang ialah adanya atau ditemukannya bukti baru (sering disebut novum) yang belum pernah dihadirkan dalam persidangan. 

Bukti baru ini dapat berupa benda ataupun saksi yang bersifat menimbulkan dugaan kuat. 

Menimbulkan dugaan kuat yang dimaksud ialah jika bukti baru tersebut ditemukan saat sidang berlangsung, maka: (1) dapat membuat terpidana dijatuhi putusan bebas atau lepas dari seluruh tuntutan hukum, (2) dapat membuat putusan yang menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, atau (3) dapat membuat hakim menggunakan pasal yang lebih ringan dalam memutus terpidana.

Kesalahan atau kekhilafan hakim

Sebagai manusia, sangat dimungkinkan hakim dalam membuat putusan pengadilan melakukan kesalahan maupun kekeliruan. Dalam praktik peradilan, putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dikoreksi dengan cara banding ke pengadilan tingkat dua (Pengadilan Tinggi) maupun ke tingkat tiga (Mahkamah Agung).

Koreksi terhadap putusan dalam sistem peradilan berjenjang tersebut terkadang tetap menghasilkan suatu putusan yang keliru, baik dalam hal penerapan pasal maupun pertimbangan hukum. Terhadap putusan-putusan seperti ini, upaya hukum PK dapat diajukan.

Proses PK

Peninjauan Kembali diajukan oleh pemohon, dalam hal ini terpidana atau ahli waris, kepada panitera (petugas administrasi pengadilan) Pengadilan Negeri yang memutus perkara untuk pertama kali. Permintaan pengajuan PK dilakukan secara tertulis, dilengkapi dengan alasan-alasan yang mendasari diajukannya PK. 

Panitera pengadilan, yang menerima permintaan PK, mencatat permintaan PK tersebut dalam suatu surat keterangan yang disebut Akta Permintaan Peninjauan Kembali. Tidak ada batas waktu dalam pengajuan PK, yang lebih diutamakan ialah terpenuhinya syarat-syarat pengajuan PK yang diatur UU dan KUHAP.

Pada Pengadilan Negeri

Sebelum permohonan PK diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP, Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa perkara PK terlebih dahulu. Dalam hal ini, Ketua Pengadilan Negeri berwenang membentuk majelis hakim yang akan memeriksa permohonan. 

Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan pemeriksaan terhadap materi PK terdakwa maupun saksi atau barang bukti yang diperlukan. Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri bersifat resmi dan terbuka untuk umum. 

Setelah pemeriksaan selesai, majelis hakim akan membuat pendapat terhadap PK yang diajukan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut dilimpahkan bersama berkas PK ke Mahkamah Agung.

Pada Mahkamah Agung

Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan PK. Berita Acara Pendapat dari Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan PK tidak selalu menjadi pertimbangan hakim MA dalam memutus perkara. 

Pada saat memeriksa permohonan PK, majelis hakim MA terdiri dari minimal tiga orang hakim agung. Putusan dibacakan dan ditandatangani oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan PK. Putusan PK oleh Mahkamah Agung dapat berupa: (1) permintaan dinyatakan tidak dapat diterima, (2) menolak permintaan Peninjauan Kembali, atau (3) menerima Peninjauan Kembali.

Putusan-putusan PK kontroversial

PK Pollycarpus

Pollycarpus Budihari Priyanto adalah terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) bernama Munir. Oleh Pengadilan Negeri, ia divonis 14 tahun penjara. Pada tahapan kasasi, Pollycarpus diputus bebas oleh Mahkamah Agung. 

Atas putusan tersebut, jaksa mengajukan PK kemudian diterima oleh Mahkamah Agung, hingga akhirnya Pollycarpus divonis 20 tahun penjara. Putusan PK tersebut merupakan hal yang tidak lazim, karena sejatinya PK adalah hak terpidana, yang lahir atas permasalahan Sengkon dan Karta, bukan hak jaksa.

PK Sudjono Timan

Sudjiono Timan adalah mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang menjadi terpidana kasus korupsi senilai Rp 369 Miliar. Dalam kasus tersebut, Sudjiono Timan divonis 15 tahun penjara pada tingkat kasasi, namun kabur dan menjadi buron. 

Pada tahun 2013, Mahkamah Agung Membebaskan Timan dari hukuman pidana melalui PK yang diajukan oleh istrinya. Perdebatan timbul di kalangan ahli hukum, karena istri (ketika suami masih hidup) bukan merupakan ahli waris sebagaimana syarat atau hak pengajuan PK adalah oleh terpidana atau ahli warisnya.

Related

Tips 6140362719974319338

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item