Mengingat Kembali Pentingnya Menjaga Privasi di Dunia Maya (Bagian 2)

Mengingat Kembali Pentingnya Menjaga Privasi di Dunia Maya

Naviri Magazine
- Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengingat Kembali Pentingnya Menjaga Privasi di Dunia Maya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Jennifer Valentino-DeVries, dalam laporannya untuk The New York Times, menyebut bahwa sejak 2016 polisi di AS dapat memaksa perusahaan digital untuk menyerahkan data-data pengguna demi mengungkap kejahatan. Polisi bisa meminta informasi ponsel-ponsel yang terdeteksi aktif di sekitar lokasi kejahatan kepada Google. 

Sampai taraf tertentu, tindakan ini masih bisa dipahami. Sayangnya, peristiwa salah tangkap sering terjadi. Jorge Molina, warga Phoenix, Arizona, AS, yang terbukti tak bersalah, misalnya, harus rela mendekam beberapa hari di penjara gara-gara ponsel yang dimilikinya terdeteksi aktif di sekitar lokasi kejahatan yang sedang diinvestigasi polisi.

Eksperimen Thompson mampu menunjukkan bagaimana perilaku warga maya saat ini dapat dikonversi melakukan "profiling". Sayangnya, Thompson tidak menyertakan tanggapan para penerima iklan yang disebarkannya itu. 

Namun, merujuk studi Eszter Hargittai bertajuk "'What Can I Really Do?' Explaining the Privacy Paradox with Online Apathy" (2016) kemungkinan besar masyarakat tidak akan peduli informasi dirinya dikonversi semena-mena menjadi personalized ads, meskipun umumnya mereka tahu bahwa data diri dan privasi merupakan barang berharga. Kelakuan ini menciptakan "privacy paradox" alias paradoks privasi.

Hargittai, mengutip penelitian yang dilakukan Alan Westin sejak 1978 hingga 2004, menyebut masyarakat pada umumnya memang tidak terlalu mementingkan privasi dan informasi pribadi. Ia memaparkan tiga jenis orang terkait privasi. 

Pertama adalah privacy pragmatist, yakni orang-orang yang mengukur untung/rugi jika data diberikan (jumlahnya 57 persen). Kedua, privacy fundamentalist, orang yang benar-benar menjaga privasi dan data diri. Ketiga, unconcerned, yakni orang yang benar-benar tidak peduli. 

Privacy fundamentalist akan menggunakan cara apapun untuk menjaga kerahasiaan diri. Namun, dalam eksperimen menggunakan chat bot, mereka mudah terpedaya untuk memberikan informasi pribadi secara cuma-cuma.

Dalam studi yang dilakukan pada kalangan mahasiswa yang dikenal memiliki kepedulian privasi yang tinggi, Hargittai menyebut 48 persen terbukti mengunggah data orientasi seksualnya, 21 persen mengunggah nama orang tua, dan 47 persen mengungkap orientasi politik secara online.

Alasan utama mengapa masyarakat tak terlalu peduli dengan privasi di dunia maya karena kurangnya pemahaman tentang risiko dan perlindungan privasi, bahkan ketika tersiar kabar bahwa data mereka terbukti disalahgunakan. 

Dalam esainya di The Guardian, John Naughton menyatakan bahwa usai skandal Cambridge Analytica terungkap, Facebook tidak ditinggalkan penggunanya, malahan lebih tokcer. Usai skandal Cambridge Analytica terkuak, pengguna aktif harian Facebook meningkat dan pendapatan per pengguna naik hingga 19 persen.

Faktor lainnya, yang membuat masyarakat tidak terlalu peduli dengan privasi, tak lain terkait faktor "gratis," atau pada sedikit kasus, "murah" alias "freemium".

Untuk menjalankan produk/layanan digital, perlu uang untuk membuat server tetap menyala dan dana untuk membuat karyawan tetap bekerja. 

Alphabet (induk usaha yang menaungi Google, Youtube, dkk), mengutip laporan keuangannya, membutuhkan uang senilai $72 miliar untuk dapat beroperasi selama 2019. Facebook menghabiskan uang senilai $47 miliar untuk menghidupi Facebook, Instagram, dan WhatsApp sepanjang 2019.

Iklan personal adalah jawaban utama untuk membayar biaya tersebut dan menyajikan layanan/produk secara cuma-cuma kepada masyarakat, yang rupanya sangat senang dengan model bisnis ini. 

Catherine Han, dalam studinya berjudul "The Price is (Not) Right: Comparing Privacy in Free and Paid Apps" (2020) meneliti 5.877 aplikasi Android. Ia menyebut aplikasi gratisan memang dicintai masyarakat dibandingkan aplikasi berbayar. Aplikasi gratis diunduh 10 kali lebih banyak dibandingkan aplikasi berbayar. 

Perusahaan senang dengan model bisnis ini. Iklan-iklan personal yang ditayangkan aplikasi-aplikasi di Android gratisan itu, menurut perkiraan, menghasilkan pendapatan hingga $117 miliar di tahun 2020. 

Sebanyak 1,8 miliar penduduk bumi adalah muslim. Tak heran, Islam menjadi tema yang sangat menggiurkan bagi para pencipta aplikasi. Anum Hameed, dalam studi berjudul "Survey, Analysis and Issues of Islamic Android Apps" (2019) menyebut terdapat ribuan aplikasi bertema Islam di toko-toko aplikasi ponsel. 

Benar, ada aplikasi bertema Islam yang baik dan layak digunakan untuk memudahkan hidup kaum muslim. Masalahnya, tidak sedikit pencipta aplikasi asal-asalan. 

Hameed tidak merinci berapa banyak aplikasi bertema Islam yang asal-asalan. Namun, dalam survei pada 40 individu yang dinilai sangat saleh, 10 persennya tahu ada aplikasi bertema Islam yang mengandung layanan/konten sembrono—yang kemungkinan hanya mengincar data penggunanya.

Ini berita buruk. Sembilan puluh persen individu itu benar-benar tidak dapat mengetahui apakah konten-konten dalam aplikasi bertema Islam yang mereka gunakan mengandung kebenaran atau tidak.

Lagi-lagi, siapa peduli?

Related

News 633084793636007015

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item