Bisakah Kita Menikmati Hidup Bebas, Tanpa Peduli Pada Tren Terkini?


Naviri Magazine - Dua tahun ke belakang, narasi Joy of Missing Out (JOMO), lawan dari FOMO, digaungkan oleh media di berbagai belahan dunia. JOMO adalah istilah agar seseorang bisa hidup lebih santai, menerima dan mensyukuri keadaan mereka, hidup lebih sehat, dan tidak terobsesi untuk mengikuti tren yang ada di media sosial. 

Menahan diri (self-restraint) dan belajar untuk tak selalu mempedulikan hal-hal yang tengah trending adalah kuncinya.

Tapi aktivitas tersebut belum tentu bisa dan efektif dilakukan. Svend Brinkmann, penulis The Joy Of Missing Out (2017) meragukan hal itu. Brinkmann dirayakan oleh media sebagai orang yang mempopulerkan konsep itu. JOMO akhirnya setara dengan praktik-praktik hidup santai seperti hygge, lagom, dan niksen, yang diimpor media-media berbahasa Inggris dari Eropa Barat, dan cuma berakhir sebagai "The Next Fashionable Nonsense".

Namun, buku Brinkmann justru merupakan kritik terhadap JOMO.

Brinkmann menerangkan bahwa tidak semua orang bisa bersantai dan "memanjakan diri". Ia memberi contoh seperti ini. Dalam JOMO, individu disarankan untuk menikmati waktu bersantai, lepas dari gawai, dan mengonsumsi berbagai jenis makanan organik yang dinilai lebih bermanfaat bagi tubuh.

Masalahnya, tak semua orang bisa mengonsumsi makanan organik—semisal ayam organik, daging sapi organik, kacang-kacangan organik—lantaran harganya yang relatif mahal, dan belum tentu tersedia di banyak tempat. Dengan begitu, memanjakan diri dan menikmati hidup dengan mengonsumsi makanan sehat hanya bisa dilakukan orang-orang kaya.

"Kalau mau semua orang di negara ini bisa makan makanan organik selamanya, maka harus ada tindakan politis, agar muncul kebijakan untuk mengurangi harga makanan organik," tulis Brinkmann dalam bukunya.

Rumusan ini juga berlaku pada hal lain, semisal saat orang disarankan untuk bersantai dengan mengunjungi tempat yang memiliki udara segar. Tak semua orang yang hidup di dalam kota bisa dengan mudah mengakses daerah yang memiliki udara segar. 

Maka, lagi-lagi, harus ada upaya kolektif masyarakat dan pemerintah untuk menemukan cara agar lingkungan tetap lestari, sehingga udara segar bisa dihasilkan oleh tanaman di seluruh kota.

"Lima belas tahun lalu, hidup sederhana adalah gerakan yang benar-benar mudah untuk dilakukan. Sekarang, bila aku mengetik 'simple life' di mesin pencari, yang muncul adalah furnitur dan desain interior bergaya Skandinavia. Hidup sederhana sangatlah mahal! Mengapa? 

“Mungkin karena konsep hidup sederhana ditargetkan untuk orang-orang mapan yang sudah mampu hidup sederhana dan nyaman, dan punya waktu untuk bermeditasi. Dan cara ini tidak bisa berlaku untuk sebagian besar orang," lanjut Brinkmann.

Lagi pula, bagaimana orang betul-betul bisa menghindari FOMO ketika informasi tidak pernah berhenti dipasok dalam ekonomi digital, yang justru berpijak pada eksploitasi perhatian pemegang gawai?

Brinkmann mengutip pendapat filsuf Jerome Segal, yang menyebut bahwa gagasan hidup sederhana ala JOMO adalah gagasan yang individualis dan rentan disederhanakan menjadi praktik self-help. 

Ia menyebut gagasan JOMO dan hidup sebagai elitist trap, sebuah situasi di mana orang-orang kaya mengarang kisah yang menganjurkan orang lain untuk menabung dan berhemat.

Tapi, tidakkah itu mirip pernyataan Marie Antoinette kepada para petani untuk makan kue, justru ketika mereka kelaparan dan butuh roti?

Related

Lifestyle 1951285431151564311

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item