Gerakan Budaya Terpenting Abad Ini: Berhenti Main Internet (Bagian 1)


Naviri Magazine - Kita tidak mampu mengatasi kecanduan Internet lantaran kita tidak tahu harus mulai dari mana. Generasi kita terlanjur menganggap internet seperti sistem utama pendukung kehidupan. Memutuskan melepas Internet dari aktivitas sehari-hari ibarat melempar kita dalam situasi merana dan kesepian. 

Kita tidak bisa kembali ke dunia nyata tanpa Internet. Tapi prospek menarik diri dari dunia yang penuh internet—misalnya menjalani hidup mirip orang Badui Dalam—rasanya kok tidak realistis, ya? 

Kita bisa saja menghapus segala akun medsos, tapi bagaimana cara kita tahu lagi diundang teman makan-makan pas ulang tahunnya, atau kalau dia mengirim undangan nikah lewat Facebook?

Masalah sosial kecanduan internet memang tak terelakkan, tapi bukan mustahil dipecahkan. Kita harus ingat iPhone hanya berusia satu dekade, dan internet berusia 25 tahun—sebetulnya belum lama banget. Kuncinya kesadaran. Teknologi pasti membentuk masa depan, tapi kita juga paham kalau manusia sering kesulitan menetapkan peran teknologi dalam hidup.

Perubahan-perubahan kecil dan bermakna sudah mulai terlihat. Banyak pengambil kebijakan memperdebatkan perlukah ponsel pintar dibiarkan dibawa pelajar ke dalam kelas. Tak sedikit restoran melarang penggunaan ponsel di meja makan. Bejibun pula perusahaan menuntut ponsel dimatikan selama rapat. 

Pergulatan antara venue musik dan ponsel pintar lumayan panjang dan rumit—sampai-sampai perusahaan teknologi Yondr menciptakan casing ponsel yang akan mengunci ponsel saat memasuki venue musik yang disebut “zona bebas ponsel.” 

Maret tahun ini, menyetir kendaraan sambil main ponsel dijatuhi denda lebih dari Rp3 juta bagi penduduk warga Inggris Raya. Di seluruh kehidupan publik, keberadaan teknologi yang ada di mana-mana sedang ditantang. Teknologi sedang coba diatur.

Tak heran bila di level individu, perlawanan terhadap Internet sudah dimulai. Gagasan “detoks digital” sedang ngetren, merujuk kembali hari-hari kejayaan Blackberry dulu. Banyak orang memamerkan gaya hidup beristirahat tanpa ponsel. Sebagian organisasi ikut mempromosikan cara-cara membangun hubungan positif dengan teknologi di kehidupan sehari-hari. 

Dr. Richard Graham adalah psikiater spesialis anak dan remaja. Sekitar 12 tahun yang lalu, dia mulai berhadapan dengan kasus remaja menderita gangguan mental sebagai akibat dari penggunaan teknologi berlebihan. Pada 2010, dia meluncurkan jasa menangani adiksi teknologi pertama di Inggris. Sejak itu dia telah menjadi pakar terdepan untuk ketergantungan dan rehabilitasi teknologi. 

Dia mengamini hubungan manusia dengan teknologi yang problematis, tapi belum yakin apakah kita sudah mencapai titik puncak masalah. “Kita belum tahu batas kecanduan Internet ada di titik seperti apa,” kata Graham. “Saya mulai beroperasi di era teknologi satu platform. Sekarang banyak teknologi yang dikenakan manusia. Semuanya saling terhubung, jauh lebih rumit.”

Dia mengingatkan bahwa generasi sekarang harus berpikir serius tentang hubungan masa depan kita dengan teknologi. Biarpun begitu, dia tidak merasa puasa teknologi adalah jawabannya, namun lebih pada bagaimana menyiapkan generasi berikutnya untuk “mengembangkan internet secara etis.” 

Setidaknya, Graham setuju bahwa pergeseran budaya mungkin saja terjadi di masa mendatang. “Saya menduga akan ada sekelompok orang yang mengarah ke situ,” ujarnya, “orang tua akan sengaja mencari sekolah yang menyita iPad dan ponsel siswanya, selama pelajaran berlangsung.”

Ide macam ini sudah dikampanyekan semenjak lama. Detoks digital sejauh ini gagal menghasilkan perubahan yang berarti. Mengingatkan orang kalau terlalu sering bermain Twitter tidak baik, belum menghasilkan reaksi signifikan. 

Beberapa tahun lalu, kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan sosmed berlebih masih dinilai bersifat pribadi. Itu dianggap ketidakmampuan orang per orang mengendalikan diri. Belakangan, di berbagai negara, konteksnya mulai berubah. 

Orang perlahan sadar kalau Internet bisa merugikan. Mulai dari fakta terjadi upaya intelijen melanggar privasi kita, hingga kesadaran bahwa data pribadi dijual ke mana-mana. Hubungan obsesif kita dengan teknologi sudah mulai masuk ke ranah politik. 

Pengetahuan bahwa smartphone bisa dipakai menguping percakapan pribadi sudah sering terdengar. Perlahan-lahan, ketidakpercayaan terhadap teknologi berkembang semakin parah.

Kita pelan-pelan tahu betapa menakutkannya internet yang tidak diregulasi. Korporat sudah bisa menebak barang apa yang kamu ingin beli, bahkan sebelum kamu membuka Google. Sedangkan pemerintah memiliki koleksi foto warganya yang didapat secara paksa. Semua itu pastinya bukanlah pengalaman yang kita harapkan ketika memutuskan bikin akun Facebook.

Manoush Zomorodi adalah pembawa acara dan editor Note to Self, sebuah podcast yang digambarkan sebagai “acara teknologi tentang apa artinya menjadi manusia.” Dia memahami situasi manusia saat ini sebagai kelumpuhan massal, semacam perasaan kolektif sesuatu yang buruk sedang terjadi, tapi kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan untuk menghentikannya.

“Kita suka kemudahan yang diberikan dunia online, tapi membenci perasaan tidak berdaya tentang kemana informasi pribadi kita dijual, siapa yang melihatnya, jadi kita merasa jijik terhadap diri sendiri,” jelasnya. 

Kompromi ini, adalah apa yang disebut Zomorodi sebagai “paradoks privasi.” Ini adalah nama proyek yang diluncurkan Note to Self awal tahun demi memberikan pendengar peralatan dan informasi yang dibutuhkan untuk mengklaim kembali privasi pribadi di dunia, di mana korporat dan pemerintah memiliki akses bebas ke manapun. 

“Kita masuk ke dunia tanpa regulasi dan pengawasan sama sekali,” lanjut Zomorodi, “dan tidak ada diskusi. Kita tidak bisa memilih apa pun di sini.”

Baca lanjutannya: Gerakan Budaya Terpenting Abad Ini: Berhenti Main Internet (Bagian 2)

Related

Internet 5122005717053111896

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item