Gerakan Budaya Terpenting Abad Ini: Berhenti Main Internet (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Gerakan Budaya Terpenting Abad Ini: Berhenti Main Internet - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Proyek The Privacy Paradox menawarkan langkah-langkah awal yang praktis guna menyelesaikan masalah yang lebih besar. “Saya kaget banyak yang tak tahu kalau tiap aplikasi punya pengaturan privasinya tersendiri,” ucap Zomorodi. 

“Salah satu pria yang menghubungi kami mengatakan, ‘Ya ampun, saya enggak tahu kalau aplikasi flashlight mengumpulkan lokasi saya, punya akses ke mikrofon ponsel dan semua nomor kontak yang saya punya!’ harusnya kamu sudah curiga ketika sebuah aplikasi digratiskan atau cuma dijual 99 sen. Kemungkinannya cuma satu: aplikasi ini menjual data kita ke praktisi pemasaran.”

Namun, yang paling bikin Zomorodi terpengarah adalah banyak orang yang sudah siap menjalankan ide ini, dan begitu cepatnya mereka memahami ide untuk mengklaim kembali privasi pribadi mereka. 

Segera setelah memahami bahwa data pribadi mereka adalah sesuatu yang bisa mereka kendalikan, mereka segera menuntut pemerintah dan media sosial yang selama ini bebas bertindak di ranah digital untuk lebih memperhatikan privasi mereka. 

“Ini adalah pergeseran budaya yang harus terjadi—kondisinya memang mengharuskan kita secara massal tak mengganggap pelanggaran privasi sebagai sesuatu yang lumrah,” ujarnya. “Kita harus mulai dari titik awal yang sederhana. Perlahan-lahan kita harus menegakkan otonomi kita. Jadi, kami mulai menggalang diskusi dan beberapa hal kecil lainnya, serta menghapus aplikasi tertentu.”

Ternyata, proyek ini membuahkan hasil. Zomorodi awalnya cuma mempredikisi hanya 200 orang yang bakal ikut serta proyek ini. Dugaannya meleset. Gelombang pertama proyek ini diikuti oleh 20.000 orang.

Di sisi inilah, potensi manusia meninggalkan, katakanlah media sosial, mulai terlihat. Semakin kita bisa menunjukkan jika media sosial, pemerintah dan korporasi, memanipulasi data pribadi kita, keengganan orang memiliki akun Facebook, misalnya, akan makin bertambah. Artinya, salah satu cara untuk mengubah hubungan kita dengan teknologi adalah dengan menyeretnya ke ranah politik. 

Aplikasi pengiriman pesan terenkripsi seperti Signal mungkin belum begitu menarik saat ini. Aplikasi yang melindungi privasi penggunanya akan memainkan peran yang sangat penting, dan memiliki makna baru ketika kesadaran publik sudah muncul. Ketika saatnya tiba, dalam sekejap, aplikasi yang sebelumnya belum begitu terkenal jadi senjata memerangi situasi kemapanan sekarang.

Apa yang sekarang kita alami menyangkut perkembangan teknologi informasi, mirip dengan apa yang dirasakan penganut vegetarianisme dari generasi ayah ibu kita. Kala itu, para pakar mulai menunjukkan bahwa mengonsumsi daging tak baik bagi kesehatan dan lingkungan. 

Masalahnya, kita sudah kadung terlalu terbiasa makan daging, hingga kita kesusahan hidup tanpa menyantap daging. Lalu, perlahan-lahan, munculnya dokumenter mengerikan tentang industri pengelolaan daging, membuat vegetarianisme menjelma jadi sebuah gerakan counterculture. 

Berkaca pada perbedaan cara pandang menyangkut hubungan kita dengan teknologi saat ini, perkembangan semacam itu akan berulang. Malah, perjuangan kita lebih mudah. Berbeda konsumsi daging yang sudah menjadi budaya selama berabad-abad, ketergantungan kita akan internet bisa dibilang baru tumbuh 20 tahun ke belakang.

Contoh lainnya adalah kampanye antirokok. Sekitar satu generasi lalu, merokok sambil mengunyah pizza di Pizza Hut adalah sebuah kewajaran. Kini, kita bahkan sudah agak emoh merokok di dalam mobil kita sendiri. Tentu, perubahan ini adalah buah dari edukasi dan persuasi yang sangat pelan namun persisten. Pada akhirnya, terjadi perubahan pada budaya kita soal merokok. 

Lagi pula, kita punya modal untuk membangun hubungan sehat dengan teknologi. Seperti kebiasaan merokok dalam ruangan yang memudar, bisa saja aturan melarang menyetir sambil menggunakan aplikasi pengirim pesan bakal mengubah hubungan kita dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti budaya perlawanan lainnya, detoks digital akan dimulai sebagai sebuah gerakan kecil, sederhana, tapi ujungnya adalah memerangi korporasi culas di bidang teknologi informasi. 

Apalagi orang tahu kalau raksasa TI makin mirip MacDonald yang jadi waralaba palugada menjual salad, burger, kentang, dan apa saja. Facebook, contohnya, mulai mengurasi outlet berita dan memastikan otentisitas sebuah berita demi menyikapi maraknya “hoax” di platform mereka. Tinggal tunggu waktu kecaman pada dominasi Facebook makin kencang di seluruh dunia.

Zomorodi sangat percaya diri menyongsong masa depan. Dia melihat podcast-nya makin banyak menerima respons orang. “Menurut saya, orang-orang ini mencari semacam komunitas supaya terbebas dari Internet,” ujarnya. 

“Mereka ingin mendapatkan semacam lampu hijau. Mereka ingin memahaminya. Bagi saya, ini adalah masa depan literasi digital. Melek digital tak selalu ada kaitannya dengan kemampuan coding. Yang penting adalah belajar memahami bagaimana piranti-piranti tersebut mengubah eksistensi budaya kita.”

Banyak penulis yang jauh-jauh hari memperkiran munculnya reaksi kelompok neo-luddite terhadap otomatisasi industri. Pada 2014, ekonom Paul Krugman menulis sebuah artikel berjudul "Sympathy for the Luddites" untuk surat kabar New York Times. 

Krugman berargumen bahwa kelas pekerja saat ini punya nasib serupa dengan pekerja tekstil di kawasan Leeds pada abad 19. Keduanya menghadapi ancaman otomatisasi yang makin memainkan peranan penting dalam proses produksi—George Monbiot baru-baru ini menggunakan pendekatan sama dalam kajiannya tentang pendidikan.

Konflik antara kelas pekerja dan teknologi dipandang sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Akan tetapi, di zaman data-mining dan kecanduan teknologi saat ini—saat garis batas antara produsen dan konsumen semakin tipis, kebutuhan menciptakan tegangan sosio-kultural agar kedua belah pihak setara makin mendesak. 

Pada hakekatnya, pandangan luddite tak sekadar mau bilang “teknologi itu jahat.” Sebaliknya, tegangan ini akan mempengaruhi bagaimana teknologi berkembang, atau lebih gampangnya, tegangan ini seharusnya mendemokratisasi perkembangan teknologi.

Sepertinya bukan sekadar angan-angan, membayangkan manusia bangkit dan mengenyahkan gawai mereka. Kesadaran menjauhi gawai ini tentu saja tak harus mewujud dalam insiden penghancuran Apple Stores atau menunggu muncul sekte anti teknologi muncul di masa mendatang.

Intinya, benih luddisme mulai tumbuh dengan subur dalam kesadaran kolektif manusia—seiring makin sadarnya umat manusia tentang apa yang mereka korbankan demi mendapatkan kenyamanan menggunakan gawai. Semakin banyak orang tersadar, makin besar pula peluang manusia menuruti refleks pemberontak dalam diri, lantas bangkit mengambil kendali atas privasi dan teknologi yang mereka gunakan.

Related

Internet 8827001320698945606

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item