Kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Hingga Menjadi Raja Para Wali


Naviri Magazine - Kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah (Yaman: Dar al-Ilmi wa ad-Da`wah, 2018) karya Habib Ali Hasan Baharun merupakan bunga rampai perkataan-perkataan gurunya, yaitu Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Kitab tersebut berisi wejangan-wejangan para ulama, wali, habaib, dan termasuk kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam perjalanannya memperoleh gelar sulthanul auliya (raja dari seluruh para wali).

Di waktu menimba ilmu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berteman dengan dua orang yang bisa dibilang cukup cerdas dan pandai, yaitu Ibnu Saqa dan Ibnu Abi `Asrun. Pertemanan itu berlanjut hingga mereka bertiga ingin mengunjungi seorang wali berpangkat wali al-ghouts. 

Rumah wali tersebut cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Mungkin lebih tepat dikatakan pelosok. Tapi, keinginan mereka untuk bertemu sang wali tidak terhalang walau jarak yang demikian jauh, dan sudah tentu kunjungan mereka tak lepas dari maksud dan tujuan.

Dalam perjalanan, mereka saling bertanya satu sama lain, terkait tujuan dan niat masing-masing. Dengan polosnya, Ibnu Abi `Usrun memulai pertanyaan kepada Ibnu Saqa. “Hei Saqa, kamu mau apa bertemu wali itu?” 

“Aku akan mengajukan pertanyaan yang sulit, hingga ia bingung dan tidak mampu menjawabnya, ha... ha... Aku orang cerdas, jadi sudah sepatutnya menguji kedalaman ilmu seorang wali,” jawabnya. 

Ibnu Abi `Asrun pun mengatakan maksudnya. “Aku juga ingin bertanya tentang sesuatu yang aku yakin dia tidak mampu menjawabnya,” tuturnya.

Tujuan keduanya sama, yakni ingin menguji ketinggian ilmu seorang wali. Mungkin karena Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak segera mengutarakan niatnya, akhirnya mereka berdua bertanya. “Qadir, kamu mau mengajukan pertanyaan seperti kami, atau ada hal lain?” 

“Saya tidak mau bertanya apa-apa,” jawabnya. 

Lalu mereka pun bertanya lagi. “Lalu kamu mau apa? Hanya mau mengikuti kami?” 

“Saya tidak punya pertanyaan yang mau diajukan. Saya hanya ingin sowan saja dan mengharap berkah darinya. Itu saja cukup, karena orang seperti dia biasanya hanya disibukkan dengan kekasihnya, yaitu Allah SWT,” jelas Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Dari dialog mereka, kita sudah bisa melihat sifat dan sikap mereka terhadap kekasih Allah SWT. Kesombongan dan rendah hati manusia, juga bisa diukur dengan sebuah perkataan. 

Kesombongan terhadap orang lain terjadi ketika kita memposisikan diri lebih tinggi atau lebih hebat daripada orang lain. Sementara, orang yang rendah hati memposisikan diri sebagai penerima anugerah Ilahi yang tidak sempurna dan lemah. Dia merasa memperoleh segala sesuatu karena karunia Allah, bukan karena kegagahan dan kehebatannya.

Sesampainya di kediaman wali al-ghouts, mereka mengetuk pintu rumahnya. Tapi, sang wali tak kunjung membuka pintu, malah ia memperlambat jalannya. Kemudian, wali tersebut keluar dalam keadaan marah seraya bertanya, “Siapa di antara kalian yang bernama Ibnu Saqa?” 

“Saya, Syekh,” jawab Ibnu Saqa. 

Tak banyak bicara, wali itu langsung menebak pertanyaan Ibnu Saqa dan langsung memberikan jawabannya secara detail, begitu pula dengan pertanyaan dan jawaban Ibnu Abi `Asrun, dan langsung mengusir mereka berdua dari hadapannya. 

Sebelum mereka berdua beranjak dari kediamannya, wali itu meng-kasyaf (membaca lewat batin) mereka berdua dengan karamahnya. 

“Hai Ibnu Saqa, dalam pandangan batinku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala dalam tulang rusukmu. Dan kamu Ibnu Abi `Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu.”

Sampai giliran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, wali al-ghouts hanya memandang sekujur tubuhnya, dan tak lama kemudian berkata, “Wahai anakku, Abdul Qadir, aku tahu tujuanmu ke sini hanya ingin berkah dariku, dan insyaallah tujuan baikmu akan tercapai.” 

Sebelum menyuruh pergi Abdul Qadir, ia berkata, “Aku melihatmu berkata padaku, ‘kakiku berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah, anakku!”

Selang beberapa hari dari kejadian aneh itu, Ibnu Saqa dipanggil oleh raja di negerinya, dan diperintahkan untuk pergi menemui petinggi Nasrani agar ia berdebat dengan mereka. 

Dalam perjalanan, ia bertemu seorang gadis cantik keturunan Nasrani dan jatuh cinta kepadanya. Namun, hubungan cinta mereka tidak direstui. Tanpa pikir panjang, akhirnya dia menemui ayahnya dan menyampaikan bahwa dia sungguh mencintainya, dan siap berkorban apa pun. 

Akhirnya terbukti perkataan wali al-ghouts bahwa ada api yang menyala dalam tulang rusuknya, dan benar, ia telah menggadaikan agamanya demi seorang perempuan. 

Sedangkan Ibnu Abi `Asrun diberi jabatan oleh raja di negerinya, untuk mengurusi harta wakaf. Sedekah dan jabatan itu datang terus menerus dari seluruh penjuru kota. Kemudian dia sadar bahwa ini merupakan doa dari wali al-ghouts. 

Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapatkan maqam tertinggi dari Allah SWT, berkat sikap rendah hatinya kepada seorang wali, dan beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di muka bumi. 

Pada saat mengajar muridnya, dia pun berkata seperti apa yang dikatakan wali al-ghouts, “Kakiku berada di atas leher seluruh para wali,” dan perkataannya didengar oleh seluruh wali di penjuru dunia, lalu mereka berikrar “sami`na wa atha`na.”

Ada hikmah yang bisa kita ambil pelajaran dari kejadian ini, bahwa siapa pun kita tidak pantas mengedepankan kelebihan, karena di atas langit masih ada langit. 

Sikap rendah hati harus menjadi prioritas utama setiap manusia, mengingat ilmu tidak lebih diutamakan daripada akhlak. Sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad Alwi Al- Maliki, “Al-Adab qabla al-`Ilmi (adab lebih didahulukan daripada ilmu).” Wallahu a’lamu bish-shawab.

Related

Moslem World 1926560891255758758

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item