Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 1)


Naviri Magazine - Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa, bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang berjuang untuk menghapus penjajahan. 

Di masa pergerakan, wartawan bahkan  menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional, dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan. 

Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. 

Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, dan pers pada umumnya, mempunyai arti strategis dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 

Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotik untuk membela kedaulatan, kehormatan, serta integritas bangsa dan negara. 

Dengan kelahiran PWI, wartawan Indonesia semakin teguh dalam menampilkan diri sebagai ujung tombak perjuangan nasional menentang kembalinya kolonialisme, dan dalam menggagalkan negara-negara boneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.

Sejarah lahirnya surat kabar dan pers berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah tokoh-tokoh surat kabar dan tokoh-tokoh pers nasional di Yogyakarta, pada 8 Juni 1946, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). 

Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi ideal dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.

Sebenarnya, SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada 9 Februari 1946. Karena peristiwa itulah, orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”. 

Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada 9-10 Februari itu, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang beragam wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang, dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:

a. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto, dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.

b. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan: Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakjat, Jakarta), B.M. Diah (Merdeka, Jakarta), Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta), Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto), Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya), Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang), Sudjono (Berdjuang, Malang), dan Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).

Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu, dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional, di mana ratusan penerbitan harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan “menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional untuk keabadian kemerdekaan bangsa, dan penegakan kedaulatan rakyat.”

Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha”, yang dibentuk oleh Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian, komisi bertemu lagi di kota itu, bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat, yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946. 

Komisi bersidang dan membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya sepakat perlunya segera membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar, waktu itu disebut Serikat Perusahaan Suratkabar.

26 tahun kemudian, menyusul lahir Serikat Grafika Pers (SGP), antara lain karena  pengalaman pers nasional menghadapi kesulitan di bidang percetakan pada pertengahan tahun 1960-an. 

Kesulitan tersebut meningkat sekitar tahun 1965 sampai 1968, berhubung makin merosotnya peralatan cetak di dalam negeri, sementara di luar Indonesia sudah digunakan teknologi grafika mutakhir, yaitu sistem cetak offset menggantikan sistem cetak letter-press atau proses ‘timah panas’. 

Mesin-mesin dan peralatan cetak letter-press yang sudah tua, dengan huruf-huruf yang campur-aduk, teknik klise yang tidak lagi mampu menghasilkan gambar-gambar yang baik, semuanya menambah suram kehidupan pers nasional. Oleh karena itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut mengatasi kesulitan tersebut. 

Pada Januari 1968, sebuah nota permohonan, yang mendapat dukungan SPS dan PWI, dilayangkan kepada Presiden Soeharto (waktu itu), agar pemerintah turut membantu memperbaiki keadaan pers nasional, terutama dalam mengatasi pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers.

Undang-undang penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan bea masuk, serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas, telah memacu berdirinya usaha-usaha percetakan baru. Menyusul berbagai kegiatan persiapan, akhirnya berlangsung Seminar Grafika Pers Nasional ke-1 pada Maret 1974 di Jakarta. 

Keinginan untuk membentuk wadah grafika pers SGP terwujud pada 13 April 1974. Pengurus pertamanya terdiri ketua H.G. Rorimpandey, bendahara M.S.L. Tobing, dan anggota-anggota; Soekarno Hadi Wibowo dan P.K. Ojong. Kelahiran SGP  dikukuhkan dalam kongres pertamanya di Jakarta, 4-6 Juli 1974.

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers. Bidang periklanan sebelumnya diwadahi oleh Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI) yang berdiri sejak September 1949, dan didominasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. 

Pada 1953, di Jakarta, dibentuk organisasi saingan bernama Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN). Setahun kemudian, keduanya bergabung dengan nama PBRI. 

Tahun 1956, Muhammad Napis menggantikan F. Berkhout sebagai ketua. Bulan Desember 1972, rapat anggota PBRI memilih A.M. Chandra sebagai ketua baru, menggantikan Napis dan bersamaan dengan itu nama organisasi diubah menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 

Berdasarkan UU pers tahun 1982, organisasi periklanan dinyatakan sebagai komponen keluarga pers nasional. Juga ditetapkan bahwa bidang usaha (aspek komersial) periklanan berada di bawah pembinaan Departemen Perdagangan & Koperasi, sedangkan bidang operasionalnya (aspek idealnya) ditempatkan dalam pembinaan Departemen Penerangan.

Sejauh ini, sebagaimana para jurnalis Indonesia di masa penggalangan kesadaran bangsa, para wartawan dari generasi 1945 yang masih aktif tetap menjalankan profesinya dengan semangat mengutamakan perjuangan bangsa, kendati rupa-rupa kendala menghadang kiprahnya. 

Mengingat sejarah pers nasional sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan, maka tepatlah keputusan Presiden Soeharto tanggal 23 Januari 1985 untuk menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.

Berikut ini catatan garis besar sejarah pers nasional dari masa ke masa.

Sebelum Proklamasi

Lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 merupakan tonggak kebangkitan nasional, karena berhasil merangsang ide-ide pergerakan modern dan langkah-langkah nyata dalam rangka mewujudkan kemerdekaan tanah air. 

Namun demikian, kelahiran Boedi Oetomo adalah bagian dari satu mata rantai perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah dalam berbagai bentuknya, sejak abad ke-16. Aceh, Banten, Jepara, Mataram, Makasar, Ternate, dan banyak lagi, tercatat sebagai pejuang-pejuang terdahulu, yang mengangkat senjata melawan kaum penjajah. 

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 2)

Related

Indonesia 2563930710459419409

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item