Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 12)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 11). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Di Indonesia, diperkirakan terdapat sedikitnya seribu warung internet (warnet), dengan sekitar 300.000 anggota. Menurut satu proyeksi, jumlah pemakai bisa mencapai 20 juta orang. 

Saat itu, sekitar selusin situs berita independen terlibat persaingan ketat, di antaranya  Astaga, Satunet, Detik, Berpolitik, Koridor, Suratkabar, inilho, dan indonesia-raya.  Di samping mereka, terdapat situs-situs berita yang menggandul pada penerbitan pers yang ada. Media siaran, seperti RCTI, juga menyelenggarakan situs sendiri. 

Tahun 1999, tercatat sebanyak 502 radio AM dan 413 radio FM di seluruh Indonesia, sebagian di antaranya melakukan liputan jurnalistik atau berita. Di Jakarta, berdiri pula kantor berita televisi Indra. 

Pertumbuhan mencolok juga terjadi di bidang media cetak. Koran-koran baru dalam grup Jawa Pos, yang bermarkas di Surabaya, bermunculan di sejumlah ibu kota provinsi dan kabupaten. Grup Kompas-Gramedia dan grup Pos Kota juga menyelenggarakan sejumlah penerbitan, selain di Jakarta juga di daerah lain.

Pemerintah di era reformasi, dari masa kepresidenan Habibie yang singkat dilanjutkan masa kepresidenan Gus Dur, secara konsisten mendukung kemerdekaan pers. Setidaknya, mereka membebaskan pers dari pembreidelan.  

Ada UU pers baru dan Tap MPR tentang hak asasi manusia yang de jure menjamin dan melindungi kebebasan pers dan informasi, serta kebebasan berkomunikasi. Namun, kembali perlu diingat, masih adanya perundang-undangan, seperti KUHP,  yang bisa mengancam pers dan wartawan. 

Berlarutnya perdebatan tentang prinsip dasar yang melandasi Rancangan UU Penyiaran baru, menunjukkan masih tajamnya perbedaan tentang strategi dan kebijakan komunikasi, arus informasi, serta pers. Selama pemerintah mempertahankan sistem lisensi penyiaran, selama itu pula Pedang Damocles akan terus menghantui kehidupan pers, khususnya bidang penyiaran. 

Begitu pula, amuk massa dan tindakan kekerasan dari penguasa terhadap pers sangat bertentangan dengan semangat dan prinsip kebebasan pers. Namun, tidak bisa diingkari bahwa pelanggaran nilai-nilai dasar jurnalistik oleh pers jelas mencemari kebebasan pers.

Pengalaman pers nasional sejauh ini, bagai gerak pendulum yang berganti-ganti arah, menunjukkan dua hal yang mendasar. Pertama, pembredelan pers di masa lalu  menunjukkan sifat konstan perbedaan tajam antara tanggung jawab pers yang independen, non-partisan dan non-partai di satu pihak, dan tanggung jawab pemerintah (terlepas partai mana yang berkuasa) di lain pihak.  

Dan kedua, pemerintah (eksekutif) yang secara dominan mengendalikan kekuasaan cenderung menempuh jalan represi untuk memasung oposisi dan menyumbat kritik. 

Untuk menghindari pembredelan dan dominasi eksekutif, peran pers dan kebebasan pers perlu dipahami sebagai prasyarat berfungsinya sistem dan proses “check and balance” dalam penyelenggaraan negara secara demokratis, transparan, dan menganut asas akuntabilitas kepada publik. Peran dan proses ini hanya bisa efektif bila lembaga pers terbebas dari segala manifestasi tekanan dan ancaman tindak kekerasan.

Berikutnya, selain diperlukan kesepakatan tentang kedudukan dan fungsi pers tersebut di atas, secara paralel harus ada upaya nasional yang konkrit untuk memperkuat fundamental politik dan pers. 

Jika sejauh ini sebagian pers dinilai kebablasan, unjuk rasa massa terhadap pers juga kebablasan, sementara sebagian pejabat dan aparat eksekutif masih menyimpan hasrat untuk membelenggu pers, masalahnya (seperti  dikatakan oleh sesepuh wartawan, Rosihan Anwar) karena tidak adanya tradisi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. 

Tradisi itu tidak ada, karena memang kebijakan politik sejak zaman kolonial hingga masa-masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru menonjolkan pemasungan pers. Kondisi tersebut dengan sendirinya melemahkan minat dan proses pendidikan nilai-nilai dasar dan teknik jurnalistik di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bari para kader pers, guna memantapkan kebebasan pers serta sistem pers merdeka.
 
Wawasan untuk mendukung kebebasan pers di kalangan masyarakat luas dan jajaran pemerintah juga sangat lemah. Kelemahan ini adalah bagian dari kelemahan negara dalam membangun dan menata kehidupan demokrasi, terutama dasar-dasarnya yang bersifat universal.  

Dalam masa transisi menuju kehidupan demokrasi yang sebenar-benarnya, diperlukan lembaga mediasi yang mampu meredam segala bentuk kekerasan terhadap pers oleh pihak-pihak non-pers. 

Lembaga itu tentu pula harus mampu menunjukkan kelemahan pers. Idealnya, lembaga itu adalah Dewan Pers yang independen dan berkerja efektif. Juga diperlukan partisipasi lembaga-lembaga riset dan “media watch” yang independen.

Related

Indonesia 7538769957000445286

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item