Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 8)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 7). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada 30 September, PKI melancarkan pemberontakan bersenjata, dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S), dan dikemudikan dewan yang diketuai Letnan Kolonel Untung, seorang komandan pasukan pengawal presiden. G30S membunuh Yani dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat.

Pers Indonesia di zaman Orde Baru

Regulasi pers dan serangkaian pemberangusan surat kabar yang terjadi di era Demokrasi Terpimpin mencerminkan dominasi lembaga eksekutif yang meningkat tajam dalam penyelenggaraan negara. Selain pers, korban lainnya adalah partai-partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat. 

Untuk mengukuhkan dominasinya, aparat eksekutif membatasi kebebasan tokoh-tokoh kritis dan oposisi. Langkah ini tidak mengakhiri pertentangan antara kelompok-kelompok politik yang bersaing. PKI dan para pendukungnya terus melancarkan ‘ofensif revolusioner’ mereka, sedangkan perlawanan dari kubu BPS makin meluas.

Situasi politik nasional sejak Oktober 1965 berbalik dengan dilancarkannya operasi penumpasan G30S/PKI. PKI dan seluruh organisasi pendukungnya dibubarkan dan dilarang. Pers PKI dan sekutunya ditutup, antara lain Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, Kebudayaan Baru, Ekonomi Nasional, Warta Bandung, Djalan Rakyat, Trompet Masjarakat, Djawa Timur, Harian Harapan, Gotong Rojong, dan sebagainya. 

Koran-koran organ partai PNI yang ditutup antara lain Suluh Indonesia, Berita Minggu, Bendera Revolusi, Patriot. dan Seluruhnya tercatat sebanyak 46 koran yang dilarang terbit. PWI dan SPS dibersihkan dari unsur-unsur PKI dan sekutunya. Wartawan-wartawan yang dipecat berjumlah lebih 300 orang.

Pimpinan negara beralih dari Presiden Sukarno ke Jenderal Soeharto. Setelah Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967, pemerintah Orde Baru mencanangkan program pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 ‘secara murni dan konsekuen’. 

Pemilihan umum dan pemilihan presiden serta wakil presiden dilangsungkan tiap lima tahun. Pembaruan MPR/DPR dan lembaga-lembaga supra-struktur lainnya dilakukan, jajaran partai-partai dan lembaga-lembaga masyarakat menjalani perombakan, seperti penyederhanaan partai/organisasi politik, penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas, pembangunan hukum dan perundang-undangan, disiplin anggaran, reformasi perpajakan, dan sebagainya. 

Pemerintah juga membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengkoordinasikan operasi penumpasan PKI, khususnya, dan mengendalikan kehidupan politik dan pers, pada umumnya.

Dengan membeli mesin-mesin cetak impor mutakhir untuk meningkatkan sirkulasi, pers nasional pun mulai membenahi diri. Dibukanya pintu bagi investasi asing mendorong persaingan pasar, dan ini menunjang periklanan pers. Tetapi, hubungan pers dan pemerintah dilanda konflik mendasar. 

Sementara kedua pihak sepakat untuk membangun sistem pers Pancasila, dengan menggunakan konsep jurnalistik pembangunan, mengembangkan hubungan kemitraan pers-pemerintah-masyarakat, dan lain-lain, kebebasan pers semakin dibatasi, dan tindakan pemberangusan berlanjut.

Pada awalnya, hubungan pers (tanpa koran-koran PKI) dengan pemerintah Orde Baru berjalan normal, meski sistem lisensi pers tetap diberlakukan. 

Pada 1 Oktober 1965, Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, Jenderal Umar Wirahadikusumah, mengizinkan dua harian ABRI untuk meneruskan penerbitannya, yaitu harian Berita Yudha, pimpinan Kepala Pusat Penerangan AD, Ibnusubroto, bersama wartawan asal harian Berita Indonesia, dipimpin S.H. Wibowo, dan Angkatan Bersenjata yang dipimpin Kepala Pusat Penerangan ABRI, Sugandhi. 

Polisi dikerahkan mengawal tempat dua surat kabar dicetak. Koran-koran lain harus memperoleh izin terbit dari pemerintah, seperti harian Duta Masyarakat pimpinan H. Mahbub Djunaidi dan Duta Revolusi (keduanya media NU), Kompas pimpinan PK Ojong dan Jakob Oetama (didukung Partai Katolik), dan Sinar Harapan pimpinan JCT Simorangkir, H.G. Rorimpandey, dll (didukung Parkindo). 

Para wartawan harian Merdeka memperoleh izin menerbitkan surat kabar API, dengan berafiliasi pada partai IPKI (tetapi akhir November 1965, Departemen Penerangan mencabut izin terbitnya). Nama-nama yang tercantum sebagai pengasuh API antara lain Sukendro, Ali Siregar (keduanya pejabat militer) H. Surio, Wienaktu, Harmoko, Sumantri Mertodipuro, dan Tahar. 

Harian-harian baru yang muncul antara lain Harian Kami pimpinan Nono Anwar Makarim dan Zulharmans, Karya Bakti pimpinan Syech Marhaban. 

Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI) yang baru juga mulai berkiprah. Merdeka, pimpinan B.M. Diah, Indonesian Observer pimpinan Herawati Diah, Soetomo Satiman dan Tribuana Said, dan Berita Indonesia pimpinan Soemantoro, diterbitkan kembali, ditambah koran-koran baru seperti Suluh Marhaen pimpinan Manai Sophiaan, harian Berita Djajakarta, Operasi pimpinan Bachtiar Djamily, mingguan Populer pimpinan T. Yousli Syah yang kemudian menerbitkan harian Media Indonesia (terakhir dipimpin Surya Paloh).

Di Surabaya, terbit lagi harian-harian Surabaya Post pimpinan A. Azis, Djawa Post pimpinan S. Tedjo, dan Suara Rakyat pimpinan Suprapto. 

Di Ujung Pandang, tercatat surat kabar Pedoman Rakyat pimpinan L.E. Manuhua,  di Semarang terbit kembali Suara Merdeka pimpinan Hetami, dan di Yogyakarta Kedaulatan Rakyat pimpinan Samawi dan M. Wonohito (sebelumnya sempat bernama Dwikora). 

Di Medan, penerbit Waspada mendirikan Harian Kesatuan, pimpinan Ani Idrus, sebelum kembali menerbitkan Waspada. Juga terbit Mimbar Umum, pimpinan Arif Lubis, dan koran baru Proklamasi, pimpinan T.D. Pardede. 

Di Bandung, Sakti Alamsjah dan Atang Ruswita menerbitkan kembali Pikiran Rakyat. Ini adalah sebagian kecil dari penerbitan pers yang tumbuh antara 1966 dan 1982. Pada 1966, terdaftar sebanyak 130 penerbitan pers. Pada 1982, jumlah harian turun menjadi 95, sedangkan yang mampu terbit sesuai ketentuan perizinan hanya 51 harian. Menjelang akhir Orde Baru, terdaftar sebanyak 71 harian.

Pembatasan kebebasan pers

Landasan perundang-undangan pers masa Orde Baru adalah Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Pasal 2 Ketetapan MPRS tersebut  mengaitkan kebebasan pers dengan keharusan adanya pertanggungjawaban kepada:

a. Ketuhanan Jang Maha Esa
b. Kepentingan rakjat dan keselamatan negara
c. Kelangsungan dan penyelesaian revolusi hingga terwujudnya tiga segi kerangka tujuan revolusi (jargon politik dari era Presiden Sukarno)
d. Moral dan tata susila
e. Kepribadian bangsa
    
Ditetapkan pula bahwa “kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menjatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan dan bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme”.

Kemudian, pada 12 Desember 1966, dengan persetujuan DPR, pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. 

Pada 20 Septemebr 1982, pemerintah bersama DPR menyetujui undang-undang baru untuk pers, yang lengkapnya berjudul Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967. 

Perubahan yang dimaksud dalam UU No.4/1967 adalah pencabutan Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 yang membatasi kebebasan pers, sehingga dinilai  bertentangan dengan UU No.11/1966, khususnya terhadap ketentuan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif (Pasal 3) dan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan (Pasal 4). 

Berlakunya UU No.4/1967 dengan maksud menghilangkan ancama pembredelan pers adalah sejalan dengan tuntutan PWI (lihat Laporan Pengurus Pusat PWI dalam Kongres ke-13 PWI di Banjarmasin, 17-21 Juni 1968).

Sejak pemilihan umum 1971, pembinaan kehidupan pers mengacu pada Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengenai penerangan, komunikasi, dan media massa. TAP MPR tersebut juga berlaku bagi media siaran, seperti radio dan televisi, serta perfilman. 

Lebih jauh, penyelenggaraan radio dan televisi antara lain mengacu pada sistem perizinan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Khusus di bidang perfilman, pemerintah bersama DPR mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Tidak dapat disangkal bahwa pemasungan terhadap kebebasan pers yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Soekarno juga berlangsung di masa Orde Baru. Padahal, UU Pers No.11/1966 menegaskan terhadap pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan. 

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 9)

Related

Indonesia 3324279340487980561

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item