Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 6)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 5). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pemberangusan pers

Dalam UUDS yang berlaku setelah UUD RIS tahun 1950 dibatalkan, terdapat satu pasal yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.” (Pasal 19). 

Tetapi, pasal-pasal dalam hukum pidana (KUHP) mengenai tindak pidana pers dan Persbreidel Ordonnantie tahun 1931 buatan Belanda masih tetap berlaku. Baru pada 1954 Persbreidel Ordonnantie 1931 dicabut, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1954, mengingat peraturan Belanda tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 19 UUDS 1950. 

Begitu pun, pembredelan pers dan penangkapan wartawan terjadi atas dasar pasal-pasal dalam Reglemen Staat van Oorlog en Beleg (SOB) peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Pada Agustus 1951, ketika pemerintahan kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap orang-orang PKI, sejumlah koran komunis dan golongan kiri lainnya diberangus, dan wartawan-wartawan mereka ditahan. 

Menyusul pencabutan Persbreidel Ordonnantie pada 1954, serangan-serangan pers oposisi terhadap kebijakan pemerintah semakin meningkat. Salah satu surat kabar yang terkenal waktu itu adalah Indonesia Raja, karena memuat berita-berita skandal, pertentangan politik, maupun penyelewengan dana. 

Tatkala panglima militer Sumatera Barat menyingkirkan pemerintahan sipil daerah tersebut pada 20 Desember 1956, Indonesia Raja adalah harian pertama yang menyiarkan beritanya, tetapi setelah itu pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, ditahan penguasa militer. 

Pihak pemerintah mendasarkan tindakan pemberangusan tersebut pada undang-undang darurat perang, yang berlaku sejak 14 Maret 1957 di seluruh wilayah Indonesia.

Pada 1957 itu, di Jakarta terjadi 20 kali tindakan pemberangusan pers, sementara di luar Jakarta terjadi 11 tindakan pemberangusan. Pada tahun berikutnya, jumlah pemberangusan surat kabar tetap tinggi, bahkan mencapai 40 kasus pembredelan/penindakan terhadap pers di berbagai kota di Indonesia. 

Pada 1958, tercatat pula tewasnya dua wartawan harian Haluan Padang, dan peristiwa penggeranatan oleh orang-orang tak dikenal terhadap percetakan harian Patriot di Medan. 

Pada tahun berikutnya, sebanyak 15 penerbitan pers di Jakarta dan enam di berbagai kota lainnya mengalami pemberangusan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), selaku pelaksana keamanan dan ketertiban. Kantor berita Antara dan Persbiro Indonesia (PIA), eks kantor berita Aneta, juga termasuk yang pernah diberangus.

Pada saat itu, selain menutup koran-koran milik Belanda, pemerintah telah menetapkan larangan terhadap penerbitan surat kabar beraksara Cina, dan setelah itu hanya mengizinkan terbitnya sebelas koran milik Cina. Beberapa koran milik Cina itu diwajibkan pula mengganti nama, seperti Sin Po (menjadi Pantjawarta) dan Keng Po (menjadi Pos Indonesia). 

Berikutnya, sejak 1 Oktober 1958, pemerintah menetapkan beberapa ketentuan tentang penerbitan pers, seperti keharusan mempunyai izin terbit, dan membatasi jumlah halaman dan volume iklan dalam pers. 

Ketentuan ini ternyata membantu peningkatan ekonomi beberapa surat kabar milik pribumi, seperti Suluh Indonesia dan Berita Indonesia, khususnya di sektor periklanan, yang waktu itu praktis merupakan monopoli Sin Po dan Keng Po. 

Atas alasan kepentingan nasional pada umumnya, persatuan-kesatuan bangsa khususnya, yang semakin terancam oleh pemberitaan sensasional dan agitasi dalam pers, oleh pertentangan di antara partai-partai dan pendukungnya, serta oleh gerakan-gerakan di daerah yang menentang pemerintah pusat, maka pemerintah di Jakarta menempuh pendekatan keamanan (kekuasaan militer) guna menanggulangi krisis nasional yang makin tajam. 

Pada waktu itu, suasana dan kondisi politik liberalisme ternyata telah memberi peluang bagi golongan kanan mau un kiri, PKI khususnya, untuk meluaskan kampanye memenangkan tujuan-tujuan politik mereka. 

Penilaian ini pula, terutama perkiraan bahwa PKI akan meraih keunggulan suara pemilih, melatarbelakangi keputusan pemerintah menunda pemilihan umum tahun 1959. 

Puncak kemelut yang menuntut langkah tegas dari pemerintah terjadi seputar sidang Konstituante. Dewan hasil pemilihan umum 1955, yang bertugas merumuskan undang-undang dasar baru, terus menerus menemui jalan buntu, bahkan mengancam keberadaan dasar negara Pancasila. 

Maka, dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante.

Manipolisasi dan Nasakomisasi

Dengan berlakunya UUD 1945, pimpinan pemerintah pusat kembali berada di tangan presiden. Dekrit Presiden 5 Juli merupakan lonceng kematian liberalisme dan sistem parlementer di Indonesia. 

Pada masa itu, perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda meningkat, dengan diawali pemutusan hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda, pada 17 Agustus 1960. Setahun kemudian, presiden menetapkan Tri Komando Rakjat (Trikora) sebagai pencanangan konfrontasi militer terhadap Belanda di Irian Barat. 

Saat itu Belanda sedang menyiapkan berdirinya negara boneka Papua. Sikap tegas pemerintah dan rakyat Indonesia, dibarengi dukungan internasional, berhasil memaksa Belanda untuk mengakhiri penjajahannya atas wilayah tersebut pada Agustus 1962.

Di lain pihak, kebijakan pemerintah di bidang politik dalam negeri menimbulkan konflik-konflik tajam. Umpamanya, langkah presiden untuk menciptakan dominasi tiga aliran kekuatan politik, yaitu Nasionalisme, Komunisme dan Agama (disingkat Nasakom), dalam lembaga-lembaga negara dan organisasi-organisasi masyarakat. 

MPRS, DPRS, DPA, dan Front Nasional, secara politis-psikologis berada di bawah pengaruh bahkan kendali ketiga aliran tersebut. Namun, PKI menggunakan program Nasakomisasi untuk menuntut kursi dalam pemerintahan, dan juga Nasakomisasi dalam angkatan bersenjata (ABRI). 

Selain itu, sebagai bagian dari ‘ofensif revolusioner’, PKI bersama-sama organisasi pendukungnya menentang kebijakan-kebijakan tertentu pemerintah, dan menyerang menteri-menteri yang mereka tolak, menggerakkan aksi-aksi sepihak di pedesaan (kini disebut konflik horizontal), menyudutkan golongan yang menentangnya, dan menuntut dibentuknya “angkatan ke-5” (massa memanggul senjata). 

Golongan ekstrem kiri PKI memperoleh kemenangan politis-psikologis dari sejumlah tindakan pemerintah terhadap pihak-pihak yang mereka serang.

Sejak pidato presiden pada peringatan 17 Agustus 1959 diberi nama Manifesto Politik (Manipol) dan ditetapkan sebagai Gari-garis Besar Haluan Negara, kehidupan politik nasional berjalan mengikuti pola Demokrasi Terpimpin. Dalam kerangka itu, pers nasional diarahkan untuk menjadi “pers terpimpin” dan “pers Manipol”. 

Landasan hukum Manipolisasi pers nasional adalah Lampiran A, Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Ketetapan tersebut menggariskan bahwa media massa harus diarahkan untuk mendorong aksi massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan yang teguh tentang sosialisme Indonesia, sehingga dukungan bagi kelangsungan revolusi dan peranannya dalam pembangunan nasional dapat terwujud. 

Menurut ketetapan tersebut, selanjutnya semua media komunikasi massa seperti pers, radio, film, dan sebagainya (kala itu belum ada televisi dan Internet) harus digerakkan sebagai satu kesatuan terpadu secara terpimpin, berencana dan terus menerus, ke arah kesadaran mengenai sosialisme Indonesia dan Pancasila. 

Dalam upaya me-Manipol-kan pers menuju pers sosialis, pemerintah akan membantu dalam pengadaan fasilitas, latihan, kertas koran, pendidikan, dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan untuk mencapai “pers terpimpin”, “pers Manipol”, dan “pers sosialis” tersebut antara lain adalah:

- Peraturan Peperti No. 3/1960 yang melarang penerbitan pers dalam aksara asing, terutama Cina. Peraturan ini kemudian diubah, sehingga dua koran Cina mendapat izin terbit, masing-masing Huo Chi Pao (Api Revolusi) dan Che Chi Pao (Obor Revolusi).

- Peraturan Peperti No.10/1960 tentang keharusan bagi penerbit pers untuk memperoleh izin terbit. Ketentuan ini mencantumkan sejumlah prinsip yang harus dipenuhi oleh pers, antara lain mendukung Manipol. Penerbit dan pemimpin redaksi juga diwajibkan menandatangani pernyataan berisi 19 pasal.

Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah menetapkan ketentuan-ketentuan tambahan yang harus dipenuhi oleh pers. Antara lain, peraturan Peperti No.1/1961 yang menetapkan percetakan-percetakan pers sebagai alat untuk menyebarluaskan Manipol dan Dekrit Presiden No.6/1963, dikeluarkan setelah hukum darurat pers dicabut, yang menekankan tugas pers untuk mendukung Demokrasi Terpimpin. 

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 7)

Related

Indonesia 4363298368410511694

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item