Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 10)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 9). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sebelumnya, pers seakan percaya saja kepada pernyataan pihak aparat bahwa gerombolan pengacau di provinsi itu telah dikucilkan dan tinggal beberapa puluh orang (jargon kala itu: situasi keamanan terkendali). 

Kendati Presiden Soeharto memerintahkan pengusutan dibarengi pemecatan dan pemutasian sejumlah perwira tinggi militer, insiden tersebut dan operasi berdarah terhadap beberapa aksi kekerasan di daerah-daerah lain menambah kecemasan yang berkembang di dalam negeri, dan memancing pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan dari berbagai kalangan di luar negeri. Pemerintah dituding mempraktikkan pelanggaran hak asasi manusia.

Citra pemerintah memburuk

Pada 1993, lembaga riset ternama di Hong Kong, Political and Economic Risk Consultancy, menyiarkan hasil survei para eksekutif bisnis yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara paling korup di Asia. 

Di satu pihak, pemerintah selalu membantah tuduhan-tuduhan meluasnya korupsi di tubuh birokrasi. Di lain pihak, kepercayaan terhadap pemerintah terus terpuruk. Kasus pembredelan bulan Juni 1994 terhadap tiga penerbitan pers yang berpengaruh—Tempo, Detik, dan Editor—memperkuat citra otoriter pemerintah Soeharto, tindakan tersebut ibarat melempar bensin ke bara. 

Kasus Tempo mengundang perhatian luas, karena menyangkut dugaan penyimpangan dalam pembelian kapal-kapal perang bekas asal Jerman Timur oleh pemerintah Indonesia. Pimpinan Tempo menggugat pemerintah ke pengadilan, dengan hasil menang di tingkat pengadilan tinggi, tetapi dikalahkan di Mahkamah Agung. 

Sementara itu, para wartawan majalah itu, bersama para simpatisan mereka di dalam dan luar negeri, terus memprotes pemberangusan tersebut. Pada Agustus, mereka membentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan tahun berikutnya resmi menjadi anggota International Federation of Journalists (IFJ) yang bermarkas di Belgia. 

Kecuali IFJ, sejumlah lembaga pers dan hak asasi manusia di Barat serta UNESCO melakukan intervensi terhadap keputusan pembredelan yang diambil pemerintah dan penangkapan disusul pengadilan beberapa aktivis AJI. 

Dengan demikian, seperti di masa awal Indonesia merdeka, PWI bukan lagi merupakan wadah tunggal wartawan di Indonesia. Karena dianggap melanggar ketentuan dan peraturan organisasi, pengurus PWI memecat sejumlah anggotanya yang menyeberang ke AJI.  

Wacana politik nasional sepanjang 1995 sampai 1997 berkisar isu-isu suksesi dan keterbukaan. Masalah suksesi menjadi relevan, terutama setelah Presiden Soeharto mendapat serangan jantung di tahun 1997. Dalam kenyataannya, suksesi dan keterbukaan hanya sebatas retorika. 

Beberapa wartawan, termasuk pengurus teras AJI, diadili dan dihukum penjara. Wartawan Kompas di Bandung yang sedang bertugas, dipukul polisi. Empat wartawan Lampung Post dipecat karena memuat hasil wawancara dengan novelis Pramoedya Ananta Toer. 

Program “Perspektif” di SCTV terpaksa dibatalkan, menyusul serangkaian tekanan dari Departemen Penerangan terhadap stasiun televisi tersebut. Di Yogyakarta, wartawan Bernas, Fuad Mohammad Syafruddin, dikeroyok di rumahnya hingga meninggal dunia. 

PWI mengutuk pembunuhan Fuad dan menuntut pemerintah mengadili para pelakunya. 

Peristiwa terbesar tahun 1996 adalah penyerbuan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Sukarnoputri, yang memicu huru-hara dan bentrokan berlarut antara aparat keamanan dan massa demonstran.

Pemilihan umum bulan Mei 1997 diwarnai bentrokan di sejumlah daerah, sementara pers mendapat tekanan dari para pendukung pencalonan kembali Soeharto. Lembaga-lembaga pengawas independen, juga pemerintah Amerika Serikat, mengecam kecurangan dalam pemilu. 

Sebelum itu, ‘kubu pro-kemapanan’ di tubuh Golkar berhasil mendepak para tokohnya yang kritis dan mendukung keterbukaan. PDI pimpinan Soerjadi diboikot para pendukung Megawati, sehingga terbilang gagal besar dalam pemilu. Di samping itu, tercatat sejumlah penangkapan terhadap beberapa aktivis mahasiswa, pemimpin buruh, dan tokoh oposisi. 

Sementara pemerintah negara-negara kreditor mendesak pemerintah Indonesia untuk mengembangkan keterbukaan dan kebebasan pers agar pengawasan pembangunan bisa lebih efektif, justru pada Oktober 1997 pemerintah bersama DPR menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran  yang sarat dengan larangan dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 

UU tersebut tetap mewajibkan pengelola stasiun televisi dan radio swasta untuk meminta izin atau lisensi (keharusan memiliki lisensi juga berlaku bagi pengelola rumah-rumah produksi untuk TV), dan merelai siaran TVRI dan RRI. Sebagai sanksi administratif, tercantum ancaman pembekuan siaran untuk waktu tertentu, dan pencabutan izin penyelenggara penyiaran.

Sebelum lahirnya UU No.24/1997, ketatnya regulasi penyiaran mengundang perdebatan dari banyak pihak. Kesediaan pemerintah untuk merevisi rancangan final UU tersebut membuka peluang bagi pihak pers/media cetak untuk menuntut penyempurnaan peraturan perundang-undangan pers tahun 1966 dan 1982. Khususnya PWI mendesak pencabutan hak Menteri Penerangan untuk membatalkan SIUPP. 

Sebaliknya, PWI menghendaki setiap tuntutan terhadap pers diputuskan di pengadilan. Menteri Penerangan waktu itu, R. Hartono, berjanji bahwa pemerintah tidak akan lagi mencabut SIUPP, namun tekanan-tekanan terhadap pers dari pejabat pemerintah tetap berlangsung. 

Bahkan tersiar kabar bahwa pihak pemerintah akan menuntut secara hukum pimpinan majalah D&R, Margiono, karena memuat gambar karikatur Presiden Soeharto sebagai sampul muka yang dianggap mengandung unsur penghinaan. Dewan Kehormatan PWI menyalahkan dan menskors Margiono. 

Tekanan pemerintah juga dialami harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Juni 1997, kuasa hukum PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang diketuai Adnan Buyung Nasution, mengajukan somasi terhadap harian tersebut, karena dinilai merusak citra perusahaan, berkenaan dengan pemberitaan jatuhnya pesawat terbang CN 235-220 versi militer di Serang, 25 Mei.

Tekanan terhadap pers terus berlanjut

Presiden Soeharto dilantik untuk masa jabatan ke-7 pada Maret 1998, tetapi meletakkan jabatan pada 21 Mei akibat krisis ekonomi dan keuangan yang menerpa Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, serta menyusul huru-hara besar di Jakarta dan kota-kota lainnya. Demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan gerakan oposisi di berbagai kota tidak terbendung lagi. 

Dengan latar belakang bentrokan berdarah antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa anti-Soeharto yang menelan sejumlah korban mahasiswa, dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi, krisis pemerintahan terus memuncak. 

Akhirnya Soeharto mundur, dan digantikan oleh Wakil Presiden, B.J. Habibie, yang terpaksa mengangkat sumpah di istana dan bukan di gedung MPR/DPR, berhubung jalan-jalan macet total dan meruncingnya keadaan.
 
Walaupun Habibie berjanji akan melaksanakan reformasi politik dan ekonomi, sistem pemerintahan di awal masa reformasi setelah turunnya Soeharto masih dikendalikan oleh kubu politik Orde Baru. Bahaya dan tekanan masih mengancam pekerja pers, selain dari unsur aparat pemerintah juga dari massa demonstran. 

Hampir sepanjang 1998, sejumlah wartawan dari berbagai surat kabar dan stasiun televisi menghadapi ancaman fisik dan hambatan politik. Seperti yang dialami  wartawan D&R, Merdeka, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Antara, Surya, Aksi, Pikiran Rakyat, Republik, Sinar, Media Indonesia, Kompas, dan Gatra. 

Pada 1998, pemimpin redaksi Merdeka empat kali diperiksa di Mabes Polri, pertama akibat pengaduan menteri dalam negeri, Syarwan Hamid, kedua pengaduan menko ekuin, Ginandjar Kartasasmita, ketiga dan keempat masing-masing atas pengaduan dua pengusaha nasional. 

Tahun berikutnya, kembali Merdeka (juga beberapa media lain) diperiksa polisi karena pemberitaan mengenai rekaman pembicaraan telepon Presiden Habibie dan jaksa agung Andi Ghalib, dan berikutnya disodorkan somasi oleh tim pengacara Partai Golkar. 

Kasus rekaman telepon Habibie-Ghalib berawal dari pemberitaan majalah Panji Masyarakat, yang juga menjalani pemeriksaan aparat.

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 11)

Related

Indonesia 1865043965409159202

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item