Masalah yang Akan Terjadi Jika Manusia Mulai Tinggal di Luar Angkasa (Bagian 3)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Masalah yang Akan Terjadi Jika Manusia Mulai Tinggal di Luar Angkasa - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Para ahli menilai kekhawatiran terhadap munculnya masalah-masalah seperti itu belum bisa diatasi, mengingat belum ada regulasi yang ketat mengatur itu. Meskipun, sebenarnya aturan tentang aktivitas ruang angkasa telah ada dalam Traktat Ruang Angkasa 1967 (Outer Space Treate of 1967).

Perjanjian internasional itu menyatakan tidak ada pihak (negara) yang bisa mengklaim kepemilikan benda-benda ruang angkasa (celestial bodies). Menurut perjanjian itu, pihak-pihak yang menjelajahi ruang angkasa bisa mengekstrak sumber daya di ruang angkasa, tetapi pemanfaatannya harus berguna bagi umat manusia di bumi, bukan untuk kepentingan pihak (negara) tertentu.

Masalah muncul ketika traktat tidak mengatur aktivitas ruang angkasa pihak swasta, mengingat pada 1967 belum ada perusahaan yang berencana pergi ke Bulan.

Para pakar merasa saat ini ada urgensi untuk menciptakan regulasi tentang aktivitas antariksa yang dijalankan swasta, salah satu tujuannya agar pebisnis seperti Musk tidak ugal-ugalan di atas langit.

Upaya Mengatur Aktivitas Swasta di Angkasa

Menurut artikel yang dimuat di Voelkerrechtsblog, sebuah laman ilmiah untuk masalah hukum internasional, Elon Musk dan miliarder lain tidak boleh menyatakan ‘kedaulatan’ di ruang angkasa, sebab tidak seperti bayangan Musk, ruang angkasa masih terjamah hukum internasional.

Berdasarkan artikel tersebut, wilayah Mars didefinisikan sebagai res communis bukan terra nulius. Secara sederhana berarti Mars adalah milik umat manusia, dan tidak bisa diklaim kepemilikannya oleh satu kelompok tertentu. Jadi, meskipun SpaceX bukan entitas negara seperti yang disebutkan aturan Traktat Ruang Angkasa 1967, SpaceX tetap tidak bisa melakukan okupasi dan menciptakan kedaulatan sendiri di Mars. 

Upaya okupasi suatu wilayah hanya dapat dilakukan di wilayah terra nulius. Artikel itu juga menyebutkan bahwa bagaimana pun perusahaan seperti SpaceX bisa beroperasi melalui proses otorisasi dari negara.

“SpaceX bertindak dengan otorisasi AS, dan aktivitasnya di ruang angkasa yang berasal dari otorisasi tersebut dianggap berasal dari AS,” tulis artikel tersebut.

Sumber lain menyebutkan, sebenarnya aktivitas swasta masih bisa diatur menggunakan Pasal VI dari OST 1967.

“Pasal VI Traktat Ruang Angkasa 1967 (OST) menyatakan bahwa negara harus mengatur perizinan kegiatan ruang angkasa yang dilakukan oleh warga negaranya (entitas publik, entitas komersial-swasta, organisasi nirlaba). Negara harus terus menerus mengawasi kegiatan ini, dan memastikan bahwa kegiatan tersebut sejalan dengan ketentuan OST dan hukum internasional umum,” dikutip dari Space Legal Issues.

Masalahnya, aturan ini dinilai tidak cukup relevan. Seperti yang diungkapkan oleh O’Sullivan sebelumnya, dalam contoh kasus penerbangan satelit ilegal oleh Swarm, ada pertanyaan yang muncul: jika terjadi kecelakaan, siapa yang bertanggung jawab? 

Amerika Serikat tidak bertanggung jawab secara langsung, sebab pemerintahnya tidak pernah menerbitkan izin bagi perusahaan. Begitu pun India yang terlibat dalam penerbangan itu. Kegamangan semacam ini hadir di celah-celah regulasi yang dianggap belum jelas.

Seperti yang dirangkum oleh The Regulatory Review, saat para miliarder melakukan ekspansi bisnisnya melampaui atmosfer bumi, para pakar telah menulis berbagai studi yang menunjukkan perlunya regulasi untuk mengatur aktivitas swasta di ruang angkasa.

Klaim Musk tentang vakumnya hukum dan aturan internasional memang sudah patah oleh traktat 1967. Namun, kini perjanjian itu dinilai ketinggalan zaman dan tidak mampu mengejar perkembangan swastanisasi ruang angkasa yang begitu pesat.

“Peraturan ruang angkasa yang ada tidak dapat mengimbangi pertumbuhan di sektor swasta, dan Amerika Serikat tidak memiliki regulasi yang komprehensif mengenai itu. Untuk mengantisipasi pertumbuhan industri ruang angkasa komersial, beberapa ahli dan cendekiawan menyerukan regulasi yang lebih tegas,” tulis artikel yang dimuat di laman The Regulatory Review.

Kosongnya regulasi yang ketat akan mengubah ruang angkasa menjadi arena kontestasi bisnis. “Tanpa aturan yang kuat, ruang angkasa bisa menjadi ‘Wild West’ abad 21,” tulis salah satu pakar yang dikutip The Regulatory Review.

Related

Science 3199513221030852993

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item