Fakta di Balik Nasib Kelas Menengah yang Kian Terpinggir di Kota-kota Besar (Bagian 1)


Naviri Magazine - Pertumbuhan penduduk membawa dampak yang serius, namun anehnya tidak juga disadari. Sebagian kalangan bahkan menganggap ledakan populasi sebagai “sumbangan” tenaga kerja yang akan membantu kemajuan negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

Mungkin memang benar, bahwa jumlah penduduk yang makin banyak di suatu negara bisa diartikan sebagai pertambahan pekerja. Tapi masalahnya tentu tidak sebatas itu.

Pertumbuhan dan pertambahan penduduk juga membutuhkan tempat tinggal lebih banyak, sebagaimana tempat kerja yang diperlukan juga makin banyak. Ketika tenaga kerja berlimpah, ongkos mereka akan turun, karena adanya persaingan. Di sisi lain, mereka butuh tempat tinggal. Padahal harga tanah dan rumah makin hari makin mahal, akibat makin banyak yang membutuhkan.

Di awal abad 21, ahli studi urban Amerika Serikat, Richard Florida, meramalkan bahwa “kelas kreatif” akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kota. Kelas kreatif ini bisa didefinisikan sebagai orang-orang kelas menengah-atas yang hidup serta menghidupi ranah seni dan mendapat kekayaan darinya. 

Kekayaan tersebut, kata Florida, akan menyebar karena ekonomi kreatif menghasilkan pusat urban yang kian menarik, bersemangat, dan produktif. 

Menurut Jane Zheng dan Chan Roger dari Universitas Hong Kong, kelas kreatif ini diistilahkan dengan “kluster industri kreatif”, yakni jenis kawasan perkotaan yang memiliki konsentrasi aktivitas budaya, plus perusahaan industri kreatif yang menjadi penyedia modal, maupun menciptakan jalur distribusi produk ke wilayah lain. 

Istilah ini sering dipakai untuk mempromosikan kebudayaan lokal dan kreativitas individu, melalui penyediaan lingkungan budaya yang kondusif dan memusat. 

Bree Trevana, peneliti Universitas Melbourne, menulis untuk The Conversation, bahwa industri kreatif kini jadi isu panas dalam konteks pembangunan kota. Industri ini dinilai punya kadar inovasi tinggi yang memunculkan ide-ide segar dan menuntun orang dan teknologi ke dalam pasar. 

Pemangku kebijakan kota kerap menjadikan industri kreatif sebagai prioritas, sebab selain dinilai mampu memicu perkembangan budaya, juga mampu meregenerasi perkotaan serta merangsang pertumbuhan ekonomi. 
 
Tesis ini sudah dibuktikan oleh banyak peneliti. Salah satunya oleh Lio Dong dan Mustapha Harua, duo peneliti dari Sichuan Fine Art University, Cina, dan Universidad Austral de Chile, Cili. Lima tahun silam, keduanya mempublikasi risetnya di Journal of Sustainable Development tentang efek pembangunan kluster industri kreatif di daerah Chongqing, yang didukung oleh mahasiswa di sekitar wilayah tersebut. 
 
Industri tersebut menekankan kehadiran unsur kebudayaan untuk memperbarui blok perkotaan Chongqing dalam bentuk yang khas dan sederhana. Li dan Mustapa berkesimpulan bahwa kebijakan dan proses transformasi kota dengan menggunakan seni, budaya, dan kreativitas, ampuh untuk memajukan banyak aspek di daerah Chongqing, termasuk perekonomiannya. 

Grafiti yang dibikin untuk meramaikan wajah kota membuat Chongqing lebih unik dan mendukung pergerakan ekonomi kreatif, dibandingkan kota lain yang visi pembangunannya tak melibatkan seni.

Namun, dua dekade berselang, ramalan Florida terbentur krisis keuangan dan perumahan global. Pandangannya berubah. “Kelas kreatif ini ada, dan awalnya saya pikir mereka berorientasi di perkotaan. Tapi, yang luput dari perkiraan saya, kelas kreatif ternyata membanjiri kota dalam jumlah besar. Saya kaget dengan ganasnya perombakan wajah kota,” jelasnya pada ABC News. 
 
Kelas profesional dan pelaku industri kreatif memang kembali ke kota, akan tetapi efeknya adalah makin terkonsentrasinya kemakmuran. Di luar lingkaran kesejahteraan yang kian elite dan eksklusif, nasib orang-orang miskin kian stagnan, atau bahkan makin miskin. 

Kelas menengah, kata Florida, memang makin hilang. Namun tak semuanya naik kelas. Orang-orang yang kalah juga tambah banyak serta terkonsentrasi di pojokan kota. Kota, yang dulu jadi impian kesuksesan, kini dalam banyak hal makin tak terjangkau.  

Salah satu yang kini menjadi masalah global adalah makin mahalnya biaya beli atau sewa rumah. Kota-kota di Australia, yang selama ini didaulat sebagai kota paling layak untuk hidup sedunia, menurut Florida juga menyimpan masalah yang sama. Kehidupan urban kontemporer di Melbourne, Sidney, juga Toronto, Vancouver, hingga Hong Kong, kian menyiksa bagi penduduk bergaji pas-pasan, sebab biaya sewa rumah amat mahal. 

Pendapat Florida diperkuat dengan hasil survei Worldwide Cost of Living, yang didasarkan pada perbandingan harga 160 produk dan layanan di 113 kota seluruh dunia. Pelaksana survei, Economist Intelligence Unit, mencatat banyak aspek, antara lain biaya makan, minum, pakaian, sewa rumah, perlengkapan rumah tangga, transportasi, tagihan listrik, dan pendidikan. 

Hasilnya menunjukkan bahwa kota-kota besar dengan nama populer seperti Hong Kong, Zurich, Paris, New York, Melbourne, Sidney, Los Angeles, Seoul, Oslo, hingga Kopenhagen, masuk daftar 15 besar kota dengan biaya hidup termahal di dunia. 

Baca lanjutannya: Fakta di Balik Nasib Kelas Menengah yang Kian Terpinggir di Kota-kota Besar (Bagian 2)

Related

International 5745390787633554275

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item