Fakta di Balik Nasib Kelas Menengah yang Kian Terpinggir di Kota-kota Besar (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta di Balik Nasib Kelas Menengah yang Kian Terpinggir di Kota-kota Besar - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kota-kota Asia mendominasi survei, termasuk 10 besar, karena penguatan mata uang. Penguatan Yen Jepang membuat biaya hidup di Osaka dan Tokyo meningkat.

Dallas Rogers, pengajar senior dalam kajian arsitektur, desain, dan perencanaan kota di Unversitas Sidney, mengatakan kondisi yang agak berbeda terjadi di kota-kota di Australia. Kelas kreatif sebagaimana yang disebutkan oleh Florida, ada tapi tak membanjiri pusat kota. Lebih tepatnya, tak mampu, sebab harga rumah dekat pusat kota makin tak ramah di kantong. 

“Karena masalah keterjangkauan perumahan meningkat di kota-kota seperti Sidney dan Melbourne, kondisinya makin susah mendapat perumahan dekat kota. Banyak politisi dan pembuat kebijakan yang menginginkan kota-kota di Australia jadi kota kreatif, punya pasar perumahan yang kuat dan kelas pekerja kreatif yang gesit. Tapi syarat utama kota yang demikian adalah ada orang-orangnya. Sementara orang-orang itu tak bisa tinggal di dalamnya. Apa gunanya?” 

Konsekuensinya, kota-kota besar kini disebut Florida sebagai “kota pemenang” di tengah para pecundang. Di kota-kota pemenang, kata Florida, terdapat pemisahan antara daerah yang padat penduduk sukses, dengan daerah padat penduduk yang kalah. Kemakmuran benar-benar terkonsentrasi seolah-olah kota tersebut adalah dua negara yang terpisah. 

Efek selanjutnya, orang-orang kalah ini bisa dieksploitasi suaranya oleh politisi penggenjot populisme—bahkan kadang-kadang populisme berbasis sentimen SARA belaka, bukan kesadaran kelas. 

“Jika Karl Marx hidup lagi, ia akan mengatakan bahwa kontradiksi kapitalisme tidak terjadi di pabrik, melainkan di kota itu sendiri. Kota menciptakan kekayaan dan inovasi, namun juga melahirkan perpecahan (kelas) di antara orang-orang,” tegasnya. 

Awal tahun ini, muncul laporan serupa dari Gillian Parker, reporter Reuters, yang menyoroti Johannesburg sebagai kota yang makin tak ramah untuk mencari tempat tinggal baru, terutama untuk kalangan kelas bawah. 
 
Kota terbesar di Afrika Selatan itu berkembang sejak penghapusan praktek apartheid pada tahun 1991. Pada tahun 2003, terjadi penggusuran besar-besaran atas kawasan orang-orang miskin untuk merealisasikan Strategi Regenerasi Dalam Kota. 

Kebijakan ini ditujukan untuk menarik investor, pebisnis, dan kelas menengah ke area dalam kota seluas kurang lebih 18 kilometer persegi. Pembangunannya kian masif sejak Afrika Selatan jadi tuan rumah Piala Dunia 2010, termasuk untuk membangun Stadion Ellis Park. 

Sejak saat itu, banyak tempat kumuh di Johannesburg yang disulap menjadi daerah tinggal orang-orang intelek dengan apartemennya yang luas dan trendi, serta otomatis menjadi pusat “hipster kota menyesap koktail dan toples selai.” Permintaannya meninggi, dan pengembang makin bernafsu membangun apartemen mewah—tempat tinggal yang hampir mustahil dijangkau kelas bawah, bahkan untuk kelas menengah sekalipun. 

Bagi mayoritas warga yang penghidupannya bergantung pada jarak yang dekat dengan kota, perkembangan perumahan di sekitar Johannesburg tidak terjangkau kantong mereka. Setengah populasi rumah tangga di Johannesburg mendapat gaji $228 per bulan, sementara 31 persen lainnya berpenghasilan kurang dari $115, demikian merujuk data Social-Economic Rights Institute of South Africa (SERI). 

Angka itu masih jauh dari kata cukup untuk sekadar membayar cicilan awal kontrakan bergaya sederhana, terlepas dari anggaran membayar cicilan per bulan yang perlu memangkas sebagian besar gaji. 

Pemerintah Kota Johannesburg bukannya diam. Mereka telah menempuh sejumlah upaya untuk menyediakan perumahan murah. Johannesburg Social Housing Company (JOSHCO) bertanggung jawab untuk menyediakan akomodasi sosial termasuk tempat tinggal bagi mereka yang berpenghasilan antara $215 hingga $540 per bulan. 

Tapi, menurut sejumlah lembaga pembela hak asasi manusia yang diwawancarai Parker, harga perumahan itu masih terlalu mahal untuk sebagian besar warga Johannesburg. 

Kondisi serupa terjadi di banyak kota, baik di Indonesia maupun negara berkembang lain. Di kota negara maju, situasinya agak unik, sebab yang terancam jadi tunawisma adalah kalangan kelas menengah. Di di Boston, Amerika Serikat, misalnya. 

Dalam laporan Wired tahun lalu, terdapat pertarungan antara pengembang yang ingin harga rumah tetap tinggi, dengan warga yang tetap ingin harga perumahan di batas wajar/terjangkau. Kebanyakan dari mereka berstatus kelas menengah Boston. 

Harga sewa rumah di Boston meningkat, sementara harga rata-rata rumah di kota-kota AS juga naik. Situasi ini, menurut Wired, menciptakan kekhawatiran bagi kelas menengah di Boston, San Fransisco, Los Angeles, New York, atau Austin, yang dikenal sebagai kota dengan perputaran uang besar. Beberapa keluarga akhirnya memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota, sementara lainnya pindah ke kota dengan biaya hidup lebih murah. 

“Di seluruh AS, tren ini berlaku: kota-kota semakin berubah menjadi rumah bagi orang-orang kaya yang mampu membayar uang sewa atau uang muka yang tinggi, sementara kalangan berpenghasilan rendah hanya mampu memenuhi syarat untuk tinggal di perumahan bersubsidi.”

Related

International 3268612465885283085

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item