Kisah Kelam dari Sejarah Mataram: Balas Dendam dan Perebutan Kekuasaan (Bagian 1)


Naviri Magazine - Mataram adalah kerajaan terkenal di Nusantara, yang telah berdiri sebelum negara Indonesia terbentuk. Secara turun temurun, kerajaan Mataram dipimpin oleh trah Mataram, sebagaimana umumnya kerajaan. 

Anak raja menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, dan terus begitu. Dalam pergantian kepemimpinan tersebut, kadang terjadi konflik dan masalah yang terkait perebutan kekuasaan, misal antara adik dan kakak.

Kenyataan semacam itu juga terjadi dalam salah satu lembar sejarah Mataram. Di antara kisah-kisah hebat terkait kerajaan terkenal itu, Mataram menyimpan kisah kelam, khususnya saat dipimpin oleh Amangkurat I. Berikut ini kisahnya.

Dendam yang berkarat 

Amangkurat I menghabiskan malam di pendapa keraton Plered sembari berpikir keras: bagaimana cara terbaik membalas dendam kepada mereka yang mbalelo. 

Dua hari sebelumnya, terjadi insiden yang membuat dia murka. Pangeran Alit, adiknya sendiri, berusaha menyerang istana dan mendongkelnya dari tahta. Sang adik tewas terbunuh. Ia jelas senang. Tapi yang terus menggelayuti pikirannya adalah: apa langkah berikut untuk membasmi kelompok yang selama ini dicurigai berkomplot dengan adiknya?

Saat itu ia baru dua tahun menduduki singgasana yang diwarisi dari ayahnya, Sultan Agung, yang wafat pada 1645. 

Amangkurat I digambarkan sejarawan Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas. “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai.” (hlm. 31). 

Dengan sedikit sekali perhatian kepada keseimbangan politik—sesuatu yang amat dibutuhkan dalam pemerintahan Jawa abad ke-17—Amangkurat I mencoba membangun kekuasaan terpusat dengan tujuan menyenangkan kepentingannya sendiri. 

Akibat perilakunya itu, dia terasing dari semua aparatus pemerintahan dan elemen-elemen yang biasanya menjadi bagian konsensus: para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama. 

Amangkurat I juga dianggap tidak memiliki kualitas kebajikan yang harus dimiliki seorang raja. Dalam Serat Jaya Baya, kitab rahasia yang dianggap sakti karena bisa meramal masa depan, Amangkurat I dilukiskan dengan metafora negatif: Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang diibaratkan dengan kuku yang putus). 

"Masa lalim" maksudnya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh tanpa guna.

Malam itu, setelah menemukan cara membalas dendam, Amangkurat I memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap. Ia merencanakan balas dendam tanpa menimbulkan kesan dialah otak di balik rencana itu. Keempat orang tersebut (Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra) adalah orang-orang kepercayaan sang raja.

Bersama anak buah masing-masing, mereka menerima perintah untuk menyebar ke empat penjuru mata angin. Seperti diungkap sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), sang raja berpesan agar: “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan.” (hlm. 38). 

Dan agar rencana berjalan lebih baik, mereka diminta menyelidiki lebih dahulu nama, keluarga, dan alamat para pemuka agama tersebut. Bagi Amangkurat I, ini siasat bagus agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.

Ketika permufakatan keji mulai dilakukan, Amangkurat sengaja tidak menampakkan diri di luar keraton. Semua sidang peradilan dan pisowanan yang melibatkan dirinya berpindah di dalam istana. Ia memilih berkonsentrasi penuh agar rencananya berlangsung dengan lancar. 

Setelah semua informasi yang dibutuhkan sudah terkumpul, ia memberi perintah-perintah terakhir kepada empat orang itu. Ia meminta mereka agar bertindak sebaik-baiknya dan “membunuh semua laki-laki, wanita, dan anak-anak”. Aba-aba dimulainya pembantaian berupa bunyi letusan meriam Ki Sapujagat yang terpasang di halaman keraton.

Saat semua persiapan sudah dilakukan, pasukan pembantai pun mulai berangkat ke kediaman para calon korban. Amangkurat I, penguasa yang digambarkan Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) sebagai “raja yang istimewa lalimnya”, mengamankan diri di dalam keraton dengan penuh ketakutan. 

Bahkan di bawah penjagaan ketat para pengawal pribadinya yang paling kuat dan bisa dipercaya, ia masih merasa was-was dengan keputusannya sendiri.

Tidak ada sumber sejarah lokal yang menyebut bagaimana pembantaian tersebut berlangsung. Babad-babad Jawa semuanya membisu ketika memasuki fase paling mengerikan dalam sejarah Mataram ini. 

Satu-satunya sumber yang bisa diandalkan hanyalah catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).

Baca lanjutannya: Kisah Kelam dari Sejarah Mataram: Balas Dendam dan Perebutan Kekuasaan (Bagian 2) 

Related

History 5663385877260023276

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item