Kisah Orang-orang yang Terjerat Pinjaman Online dan Fakta-fakta di Baliknya (Bagian 3)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Orang-orang yang Terjerat Pinjaman Online dan Fakta-fakta di Baliknya - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Bergeser ke Jawa Timur, tepatnya di Tulungagung, kejadian serupa juga muncul beberapa hari yang lalu. Tekanan penagih utang pinjaman online membuat seseorang mengakhiri nyawanya sendiri. Kepolisian menyebut, korban depresi lantaran dililit utang dari pinjol yang totalnya mencapai belasan juta rupiah. 

Dedi terdiam cukup lama kala disodori berita-berita di atas. Mulutnya terus menghisap sebatang rokok, jenis kretek, yang sudah lebih dari setengah jam tak memperlihatkan tanda-tanda bakal habis. Tak lama berselang, satu-dua patah kalimat keluar dari bibirnya. 

“Kami [penagih utang] sendiri juga serba terbatas. Enggak kerja salah, sementara kalau kerja mau enggak mau kudu kayak gitu. Kadang saya mikir, rasanya kayak kejebak.” 

Dedi harus menuntaskan pekerjaannya. Sebab berpengaruh terhadap pendapatan yang ia terima. Jika ia gagal membawa pulang uang pinjaman, pendapatannya dipotong. Rugi. Jumlahnya tergantung besaran pinjaman yang tengah ia kejar. Dan sebaliknya, ketika Dedi berhasil menjalankan tugasnya, perusahaan akan memberinya imbalan dengan jumlah yang bervariasi. 

Kebijakan ini, katanya, tak berlaku saklek di banyak tempat—tergantung perusahaan masing-masing. “Tapi yang sering saya dengar, memang ada bonus juga kalau berhasil nagih tepat waktu. Kadang bisa dapet Rp200 ribu atau Rp300 ribu,” ucapnya. “Saya sendiri minim bisa dapat Rp250 ribu sekali nagih dan berhasil. Lumayan, kan.” 

Semua uang yang diperoleh penagih utang begitu berarti untuk kebutuhan hidup. Terlebih jika yang bersangkutan sudah punya keluarga, kata Dedi. Pantang pulang dengan tangan kosong jadi keyakinan yang mereka pegang. 

“Ya sebenarnya kami juga enggak mau kalau sampai ada apa-apa. Kami juga ingin kerja semua lancar. Nagih, ya, langsung dibayar. Enggak perlu sampai marah-marah apalagi [bikin] bunuh diri,” tegasnya. 

Petaka Bersembunyi di Jargon “Kemudahan” 

Jargon kemudahan yang kerap ditawarkan pinjol, utamanya yang berpraktik secara ilegal, dalam artian tak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tak boleh dilahap secara bulat-bulat. Banyak kejadian yang justru meruntuhkan “kemudahan” itu, berganti dengan “kesusahan” yang tak habis-habis. 

Setidaknya itu yang diyakini Jarwo, bukan nama sebenarnya, lelaki asal Tasikmalaya yang hampir delapan tahun merantau ke Jakarta. Pertengahan 2019, ia berurusan dengan pinjol. Dia meminjam Rp500 ribu, dengan tenor pengembalian seminggu. 

“Kayaknya enak, ya. Tapi, sama sekali enggak. Saya kudu balikin Rp750 ribu di akhir masa pinjam. Bunganya gede, Bang, di atas 20 persen,” ceritanya. 

Yang menjengkelkan, saat Jarwo putus asa membayar utang, pegawai jasa pinjol mengirimkan tautan. Isinya merujuk ke empat aplikasi pinjol lain yang bisa diutangi. Empat penyedia jasa pinjol itu terhubung ke perusahaan yang sama. 

“Mereka bilang pinjem aja di situ, nanti bayarnya ke sini. Intinya, mereka berdalih mau bantu, tapi dasarnya tetep aja nyusahin,” imbuhnya. 

Tak punya banyak pilihan, Jarwo mengambil opsi itu. Dia terjebak dalam siklus membayar utang melalui pinjaman dari penyedia jasa pinjol lainnya. Pinjamannya di tempat yang pertama memang berhasil dilunasi. Namun ia harus kembali melunasi di tempat yang kedua, dengan menggunakan pinjaman di tempat yang ketiga. 

Selama kurang lebih enam bulan, sampai awal 2020, Jarwo kudu bertahan di antara himpitan utang yang terus mengejar dan berlipat ganda. “Kayak gali lubang tutup lubang saja,” ia memberi perumpamaan. 

Jarwo tak sendirian. Semua yang pernah terlibat masalah dengan pinjol, kemungkinan besar, menurut Kepala Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, berada pada posisi semacam itu. 

“Artinya mereka menutup utang dengan utang. Jadinya, menumpuk. Dan semakin menumpuk, semakin besar tekanannya. Banyak yang kemudian depresi bahkan sampai bunuh diri seperti yang terjadi pada supir taksi di Mampang awal 2019,” ungkapnya. 

Sistem kerja pinjol ilegal, bagi Nelson, tak rasional. Mulai dari penetapan bunga yang tinggi, pencurian data pribadi, hingga ancaman saat menagih. Penyelenggara jasa pinjol lihai memanfaatkan kerentanan masyarakat yang membutuhkan dana segar dalam waktu relatif singkat. 

Terlebih dalam situasi seperti pandemi: kebutuhan hidup melambung, sampai ramainya pemutusan hubungan kerja. 

“Karena enggak ada opsi lain, ya, akhirnya lari ke pinjol. Kebanyakan dari mereka dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Bukannya tenang, yang ada nambah masalah baru,” tuturnya. 

Memutus lingkaran kesengsaraan itu tak pernah mudah. Kondisinya cukup kompleks dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Pinjol hadir untuk “memudahkan” masyarakat dalam mengakses pinjaman, yang sayangnya kerap berakhir dengan hasil yang tak bahagia: depresi, dijauhi tetangga, pecah keluarga, sampai yang terparah, bunuh diri. 

Sekali lagi, satu masalah selesai, tapi tidak dengan masalah yang lainnya. Satu utang lunas dibayar, namun tidak dengan utang yang lainnya. Tumpukan itu seperti tak pernah habis. 

“Jangan pernah urusan sama pinjol. Sekali masuk, enggak bisa keluar,” pungkas Jarwo.

Related

News 3478998068279670426

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item